Mungkin tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa randai dari Minangkabau adalah salah satu teater tradisional Indonesia yang berasal dari luar budaya Jawa yang paling dikenal di luar Indonesia. Jika kita memperkecil skop pembicaraan seputar Sumatera, maka saya berani mengatakan bahwa teater rakyat Minangkabau yang disebut randai paling sering dibicarakan secara ilmiah dan dipelajari untuk dipraktekkan oleh orang asing.
Sejauh yang saya ketahui teater-teater atau seni-seni tutur tradisional dari etnis lain di Sumatera baru mendapat perhatian sarjana asing sebatas untuk bahan kajian ilmiah, misalnya mengenai di didong di Aceh oleh John R. Bowen (1991), Abdul Muluk di Sumatera Selatan oleh Robert Martin Dumas (2000), dan teater topeng sakura di Lampung yang diteliti oleh Karen SK Thomas (2013).
Kajian-kajian orang Eropa terhadap randai antara lain dilakukan oleh Margaret Kartomi (1981), Craig Lattrel (1999), Wim van Zanten (2000; dalam format video), dan Matthew Isaac Cohen (2003).
Sarjana asing yang paling intens meneliti randai adalah Kirstin Pauka dari University of Hawaii, Amerika Serikat. Pauka telah menulis beberapa artikel mengenai randai (lihat: Pauka 1998; 2003; 2008). Puncak dari ketertarikannya terhadap randai diwujudkannya dalam sebuah disertasi yang dipertahankan di University of Hawaii tahun 1995. Tiga tahun kemudian disertasi itu diterbitkan oleh Center for International Studies Ohio University di Athens, Ohio, dalam seri Monograph in International Studies Southeast Asia Series nomor 103 dengan judul Theater & martial arts in West Sumatra: randai & silek of the Minangkabau.
Prof. Kirstin Pauka tidak hanya menerbitkan tulisan ilmiah mengenai randai, tapi juga mempelajarinya untuk dipraktekkan dan diajarkan kepada mahasiswanya. University of Hawaii (yang menerbitkanAsian Theater Journal) juga menawarkan kuliah seni randai untuk Program S2-nya. Pada Agustus 2011 – Februari 2012, Kirstin mendatangkan Musra Dahrizal, budayawan dan praktisi profesional kesenianrandai kita dari Grup Palito Nyalo, untuk menjadi dosen tamu dan instruktur randai di Fakultas Theater, Studi Asia, Huniversity of Hawaii.
Tahun 2000 Musra Dahrizal dan dosen ISI Padang Panjang, Admiral, diundang ke Australia untuk menjadi instruktur randai. Dengan demikian, dua benua (Amerika dan Australia) sudah dijejak oleh kesenian randai kita.
Randai merambah Eropa
Pada 5-12 Januari lalu Admiral diundang oleh Hogeschool van de Kunsten di Utrecht, Belanda, untuk mengajarkan kesenian randai kepada mahasiswa sekolah tinggi itu dalam Programma Winteracademie 2013. Dengan demikian kesenian randai kita juga sudah merambah benua Eropa. Memang Musra Dahrizal pernah diundang ke Turki dan beberapa negara pecahan Yugoslavia, tapi tidak dalam rangka mengajarkan randai.
Nelly van der Geest yang mengelola program di Utrecht itu menyebutkan dalam bahwa tujuan kuliah randai ini adalah: 1) Mahasiswa dapat memahami apa fungsi kesenian randai di Sumatera Barat; 2) Mahasiswa dapat mempertunjukkan gerakan dan elemen-elemen dasar randai; 3) Mahasiswa mendapat pengalaman dalam pertunjukan yang bersifat kolektif dari perspektif non Barat; 4) Mahasiswa ditantang untuk menerjemahkan randai ke dalam konteks baru (teater Barat) (lihat:http://theaterweb.hku.nl/clk/show/id=1069404).
Seramai 18 orang mahasiswa (berusia sekitar 18-20 thn) mengikuti program tersebut. Mereka sangat antusias mempelajari gerak-gerak dasar randai yang diajarkan Admiral. Saya (ditemani oleh fotografer Ista Putranto, seorang Indonesia yang tinggal di Belanda) membantu menerjemahkan instruksi-instruksi yang diberikan Admiral kepada mahasiswa, dan juga memberikan penjelasan mengenai konteks sosio-kultural randai di Minangkabau.
Menurut pengamatan saya, mahasiswa dapat menguasai dengan cepat gerakan-gerakan dasarrandai, termasuk gelek. Fungsi goreh dengan suara-suara khasnya sebagai komando untuk setiap gerakan dan ekspresi aural (seperti ap!, ti!, eik!, dan thua!) anak randai dapat mereka pelajari dengan relatif cepat.
Demikian pula dengan tapuak galembong (yang tampaknya sangat mereka sukai karena bunyinya yang khas). Yang agak memerlukan waktu untuk penghalusan adalah keselarasan antaratapuak tangan (dengan berbagai variasinya) dengan suara. Dendang dapat mereka pelajari dengan relatif cepat pula, walau tak sepenuhnya mampu menirukan garitiak (cengkok) suara aslinya.
Ekspresi teatrikal dan suara untuk adegan dialog antar tokoh (saat lingkaran anak randai duduk) kelihatan unik, tapi ini dapat dimaklumi karena mereka berasal dari budaya Barat dengan tradisi teater yang sangat berbeda.
Latihan randai di Hogeschool van de Kunsten di Utrecht tersebut diakhiri dengan pertunjukan randaioleh kelompok mahasiswa yang mengikutinya. Pertunjukan itu dijadikan sebagai salah satu pointpenilaian oleh pihak sekolah. Mahasiswa membawakan sekuen sprookje “Hans en Grietje”, satu cerita anak-anak yang terkenal di Belanda.
Menghargai dan mempromosikan kesenian tradisi kita
Antusiasme orang asing seperti remaja Belanda mempelajari randai membanggakan saya, tapi sekaligus juga mengingatkan saya pada nasib kesenian ini di ranah Minang sendiri. Banyak di antara kaum muda Minangkabau sekarang tergila-gila dengan budaya pop asing. Akhir-akhir banyak juga yang kerajingan budaya pop Korea. Sementara kesenian tradisi mereka sendiri diabaikan, tidak dipelajari.
Kita berharap semoga timbul kesadaran di kalangan generasi muda Minangkabau untuk mempelajari dan terus melestarikan randai. Di samping itu, adalah tugas pemerintah, dunia pendidikan, para budayawan, dan para profesional kesenian randai untuk terus mempromosikan teater tradisional Minangkabau ini ke mancanegara.
Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut hemat saya ISI Padang Panjang, dan insitusi-insitusi sejenis yang relevan, harus terus mengembangkan kerjasama dengan berbagai institusi pendidikan di luar negeri, khususnya yang bergerak dalam bidang seni seperti Hogeschool van de Kunsten di Utrecht, atau grup-grup kesenian profesional yang bergerak di bidang seni pertunjukan. ISI Padang Panjang, misalnya, seyogianya menyiapkan paket kuliah dan praktek kesenian tradisional kita yang dapat diikuti oleh peminat/mahasiswa luar negeri, dengan instruktur yang profesional dan menguasai bahasa Inggris, orang asing jadi berminat datang ke Kampus ISI Padang Panjang untuk mengenal lebih dekat budaya Minangkabau.
Sebuah (suku)bangsa akan mendapat marwah dalam pergaulan internasional jika unsur-unsur budayanya mendapat apresiasi positif dari bangsa-bangsa lain.
Oleh Suryadi – Leiden University, Belanda |
Sejauh yang saya ketahui teater-teater atau seni-seni tutur tradisional dari etnis lain di Sumatera baru mendapat perhatian sarjana asing sebatas untuk bahan kajian ilmiah, misalnya mengenai di didong di Aceh oleh John R. Bowen (1991), Abdul Muluk di Sumatera Selatan oleh Robert Martin Dumas (2000), dan teater topeng sakura di Lampung yang diteliti oleh Karen SK Thomas (2013).
Kajian-kajian orang Eropa terhadap randai antara lain dilakukan oleh Margaret Kartomi (1981), Craig Lattrel (1999), Wim van Zanten (2000; dalam format video), dan Matthew Isaac Cohen (2003).
Sarjana asing yang paling intens meneliti randai adalah Kirstin Pauka dari University of Hawaii, Amerika Serikat. Pauka telah menulis beberapa artikel mengenai randai (lihat: Pauka 1998; 2003; 2008). Puncak dari ketertarikannya terhadap randai diwujudkannya dalam sebuah disertasi yang dipertahankan di University of Hawaii tahun 1995. Tiga tahun kemudian disertasi itu diterbitkan oleh Center for International Studies Ohio University di Athens, Ohio, dalam seri Monograph in International Studies Southeast Asia Series nomor 103 dengan judul Theater & martial arts in West Sumatra: randai & silek of the Minangkabau.
Prof. Kirstin Pauka tidak hanya menerbitkan tulisan ilmiah mengenai randai, tapi juga mempelajarinya untuk dipraktekkan dan diajarkan kepada mahasiswanya. University of Hawaii (yang menerbitkanAsian Theater Journal) juga menawarkan kuliah seni randai untuk Program S2-nya. Pada Agustus 2011 – Februari 2012, Kirstin mendatangkan Musra Dahrizal, budayawan dan praktisi profesional kesenianrandai kita dari Grup Palito Nyalo, untuk menjadi dosen tamu dan instruktur randai di Fakultas Theater, Studi Asia, Huniversity of Hawaii.
Tahun 2000 Musra Dahrizal dan dosen ISI Padang Panjang, Admiral, diundang ke Australia untuk menjadi instruktur randai. Dengan demikian, dua benua (Amerika dan Australia) sudah dijejak oleh kesenian randai kita.
Randai merambah Eropa
Pada 5-12 Januari lalu Admiral diundang oleh Hogeschool van de Kunsten di Utrecht, Belanda, untuk mengajarkan kesenian randai kepada mahasiswa sekolah tinggi itu dalam Programma Winteracademie 2013. Dengan demikian kesenian randai kita juga sudah merambah benua Eropa. Memang Musra Dahrizal pernah diundang ke Turki dan beberapa negara pecahan Yugoslavia, tapi tidak dalam rangka mengajarkan randai.
Nelly van der Geest yang mengelola program di Utrecht itu menyebutkan dalam bahwa tujuan kuliah randai ini adalah: 1) Mahasiswa dapat memahami apa fungsi kesenian randai di Sumatera Barat; 2) Mahasiswa dapat mempertunjukkan gerakan dan elemen-elemen dasar randai; 3) Mahasiswa mendapat pengalaman dalam pertunjukan yang bersifat kolektif dari perspektif non Barat; 4) Mahasiswa ditantang untuk menerjemahkan randai ke dalam konteks baru (teater Barat) (lihat:http://theaterweb.hku.nl/clk/show/id=1069404).
Seramai 18 orang mahasiswa (berusia sekitar 18-20 thn) mengikuti program tersebut. Mereka sangat antusias mempelajari gerak-gerak dasar randai yang diajarkan Admiral. Saya (ditemani oleh fotografer Ista Putranto, seorang Indonesia yang tinggal di Belanda) membantu menerjemahkan instruksi-instruksi yang diberikan Admiral kepada mahasiswa, dan juga memberikan penjelasan mengenai konteks sosio-kultural randai di Minangkabau.
Menurut pengamatan saya, mahasiswa dapat menguasai dengan cepat gerakan-gerakan dasarrandai, termasuk gelek. Fungsi goreh dengan suara-suara khasnya sebagai komando untuk setiap gerakan dan ekspresi aural (seperti ap!, ti!, eik!, dan thua!) anak randai dapat mereka pelajari dengan relatif cepat.
Demikian pula dengan tapuak galembong (yang tampaknya sangat mereka sukai karena bunyinya yang khas). Yang agak memerlukan waktu untuk penghalusan adalah keselarasan antaratapuak tangan (dengan berbagai variasinya) dengan suara. Dendang dapat mereka pelajari dengan relatif cepat pula, walau tak sepenuhnya mampu menirukan garitiak (cengkok) suara aslinya.
Ekspresi teatrikal dan suara untuk adegan dialog antar tokoh (saat lingkaran anak randai duduk) kelihatan unik, tapi ini dapat dimaklumi karena mereka berasal dari budaya Barat dengan tradisi teater yang sangat berbeda.
Latihan randai di Hogeschool van de Kunsten di Utrecht tersebut diakhiri dengan pertunjukan randaioleh kelompok mahasiswa yang mengikutinya. Pertunjukan itu dijadikan sebagai salah satu pointpenilaian oleh pihak sekolah. Mahasiswa membawakan sekuen sprookje “Hans en Grietje”, satu cerita anak-anak yang terkenal di Belanda.
Menghargai dan mempromosikan kesenian tradisi kita
Antusiasme orang asing seperti remaja Belanda mempelajari randai membanggakan saya, tapi sekaligus juga mengingatkan saya pada nasib kesenian ini di ranah Minang sendiri. Banyak di antara kaum muda Minangkabau sekarang tergila-gila dengan budaya pop asing. Akhir-akhir banyak juga yang kerajingan budaya pop Korea. Sementara kesenian tradisi mereka sendiri diabaikan, tidak dipelajari.
Kita berharap semoga timbul kesadaran di kalangan generasi muda Minangkabau untuk mempelajari dan terus melestarikan randai. Di samping itu, adalah tugas pemerintah, dunia pendidikan, para budayawan, dan para profesional kesenian randai untuk terus mempromosikan teater tradisional Minangkabau ini ke mancanegara.
Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut hemat saya ISI Padang Panjang, dan insitusi-insitusi sejenis yang relevan, harus terus mengembangkan kerjasama dengan berbagai institusi pendidikan di luar negeri, khususnya yang bergerak dalam bidang seni seperti Hogeschool van de Kunsten di Utrecht, atau grup-grup kesenian profesional yang bergerak di bidang seni pertunjukan. ISI Padang Panjang, misalnya, seyogianya menyiapkan paket kuliah dan praktek kesenian tradisional kita yang dapat diikuti oleh peminat/mahasiswa luar negeri, dengan instruktur yang profesional dan menguasai bahasa Inggris, orang asing jadi berminat datang ke Kampus ISI Padang Panjang untuk mengenal lebih dekat budaya Minangkabau.
Sebuah (suku)bangsa akan mendapat marwah dalam pergaulan internasional jika unsur-unsur budayanya mendapat apresiasi positif dari bangsa-bangsa lain.
Oleh Suryadi – Leiden University, Belanda |
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih