Banyak gelar yang diberikan kepada pria yang sudah beristri di Pariaman. Ada yang bergelar, Sidi, Bagindo, Sutan dan Marah. Lalu bagaimana dengan gelar Sidi bagi pria di Pariaman. Benarkah pria yang bergelar Sidi ini adalah keturunan Nabi Muhammad ?. Berikut ini sebuah artikel yang dikutip dari www.saribundo.biz. Semoga bermanfaat..............
BANGSA MELAYU DIDATARAN TINGGI MINANG
Daerah Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai jauh sebelum kedatangan bangsa bangsa Indochina dipimpin oleh Dapunta Hyang telah dihuni oleh bangsa Gujarat, Malabar dan Srilanka dan jauh sebelumnya telah ada ras Negrito dan Austronesia yang mendiami kawasan tersebut.
Ekspansi yang dipimpin oleh Dapunta Hyang bergerak dari daerah Minangatamwan yang berada dimuara sungai kampar kanan dan sungai kampar kiri menuju dataran tinggi sumatera barat, untuk seterusnya bergerak dan akhirnya menetap di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Kedatangan bangsa Indochina dibawah pimpinan Dapunta Hyang dianggap oleh para sejarawan sebagai migrasi kedua dari bangsa yang mendiami kawasan Asia selatan.
Ada juga yang berpendapat bahwa migrasi pertama yang berasal dari Asia selatan, mereka berasal dari daerah yang bernama Dongson berkebudayaan perunggu dan mendiami daerah pegunungan Asia selatan.
Sedangkan yang datang dan bergerak dari daerah Minangatamwan menuju dataran tinggi Sumatera Barat tidaklah dapat dikatakan sebagai migrasi penduduk. Lebih tepat dikatakan ekspansi bangsa Indocina yang bisa saja berasal dari Kamboja atau Champa. (Prasasti Kedudukan Bukit, 684 M)
Migrasi bangsa Indochina yang berasal dari pengunungan Dongson kawasan Asia Selatan adalah migrasi pertama yang berlangsung berabad-abad sehingga terjadi asimilasi dengan ras Negrito dan Austronesia kemudian melahirkan kebudayaan Neolitich.
Kedatangan bangsa Indochina melalui jalan ekspansi merupakan migrasi kedua yang dipimpin oleh Dapunta Hyang berhasil menaklukkan dataran tinggi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan mendirikan Kerajaan Sriwijaya kemudian menyerang kerajaan Taruma Negara yang beragama Hindu di Pulau Jawa (Prasasti Talang Tuo, 685 M).
Oleh sejarawan, kedatangan bangsa Indochina, baik yang datang secara berimigrasi maupun yang datang melalui ekspansi sebagai nenek moyang bangsa Melayu dan nenek moyang bangsa Minangkabau.
Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa mendirikan kerajaan Sriwijaya dan dinasty (wangsa) Syailendra sebagai penguasa kerajaan beragama Budha aliran Hinayana terkuat dan terbesar di Nusantara.
Kemudian Adityawarman mendirikan kerajaan Malayupura (tulisan dibelakang Arca Amoghapasa, Prasasti Kuburajo, dan Prasasti Batusangkar) dan memindahkan pusat kerajaan tersebut di pedalaman Sumatera Barat. Pada tahun 1347 M kerajaan ini akhirnya lebih dikenal dengan Kerajaan Pagaruyung.
Adityawarman sendiri merupakan keturunan Raja Majapahit hasil perkawinan dengan Dara Jingga, Putri dari Kerajaan Dharmasraya. Adityawarman beragama Hindu dan Bidha (Sinkrentis). Sampai pada pertengahan Abad XIV kerajaan Pagaruyung masih beragama Budha yang dipadukan dengan Hindu.
Belum ada satu manuskrip yang menyatakan Islam sudah ada di dataran tinggi (Pedalaman) Sumatera Barat pada masa tersebut. Sekitar tahun 1513 barulah ada raja Pagaruyung yang memeluk Agama Islam, sebutan Raja berubah menjadi Sultan. Sultan pertama pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah dan Sultan pertama tersebut jelas bukanlah merupakan keturunan dari Aditywarman.
BANGSA ARAB DI PARIAMAN
Situasi yang sangat berbeda bila dibandingkan dengan daerah pesisir pantai, Pariaman merupakan kawasan pesisir pantai dihuni oleh orang Gujarat dan Malabar yang berasal dari India. Pariaman atau dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut dengan Faryaman pada saat masuknya Dapunta Hyang ke dataran tinggi (pedalaman) Sumatera Barat, disini sudah mengakar kuat agama Hindu. Masyarakat Hindu membagi manusia dalam empat tingkatan struktur sosial atau yang lebih dikenal dengan Kasta.
Kasta Brahmana dikenal sebagai struktur masyarakat tertinggi, mereka adalah kaum pendeta. Kasta ini sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas yang tinggi dan umumnya mereka menjadi penasehat raja. Kasta Ksatria merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan kedua, mereka adalah kaum bangsawan dan pembesar kerajaan umumnya mereka juga sangat menjaga kesopanan, etika dan moralitas.
Kasta waisya merupakan struktur masyarakat Hindu ditingkatan ketiga, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha. Kasta Sudra dikenal juga sebagai orang paria, mereka adalah para pekerja kasar, tukang dan mengabdi pada kasta yang berada diatasnya, mereka tidak menjaga kesopanan dan punya moralitas yang sangat rendah.
Pada awal abad VII M seorang pendeta Budha (I Tsing) yang belajar dan menetap beberapa tahun di Kerajaan Sriwijaya menulis dalam catatan perjalanannya bahwa ada sekelompok masyarakat Arab beragama Islam yang mendiami pesisir pantai barat Sumatera. Masyarakat Arab yang pertama minginjakkan kaki di pantai barat Sumatera ini bisa saja berasal dari Hijaz kemudian melakukan perjalanan kewilayah India kemudian melakukan perjalanan dengan kapal dan sampailah mereka dipelabuhan Tiku dan menetap di daerah tersebut. Rombongan ini merupakan migrasi pertama dari dari turunan Imam Hasan dan Bani Ghasan.
Terjadinya pembantaian terhadap Bani Ghasan disebabkan Bani Ghasan tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar oleh sebab itu mereka tidak mau membayar zakat. Ketidakmauan Bani Ghasan membayar zakat menjadi alat pembenaran oleh khalifah Abu Bakar untuk membantai Bani Ghasan, sehingga yang selamat melarikan diri ke Hijaz.
Pada tahun 680 M Imam Husain (cucu Nabi Muhammad SAW) syahid di Karbala dibantai oleh pasukan Yazid. Sebelumnya Imam Hasan berhadapan dengan Muawiyah bin Abi Sofyan dan dengan kelicikan berhasil membunuh Imam Hasan dengan cara meracuni melalui isteri Imam Hasan yang bernama Jad’ah. Beberapa Anak Imam Hasan bergabung dengan Bani Ghasan yang sudah lebih dahulu ada di Hijaz.
Anak keturunan Imam Hasan dan Imam Husein serta para pengikut setia mereka pasca pembantaian di Padang Karbala menyembunyikan diri di Hijaz dan kawasan sekitarnya. Kejaran dari serdadu Yazid memaksa mereka meninggalkan kampung halaman untuk menyelamatkan diri dengan mencari daerah yang jauh dan aman hal ini terjadi dipenghujung abad VI M.
Sebahagian besar turunan Imam Husein Migrasi kewilayah Hadramaut kemudian menyebar kekawasan Asia tenggara dan pada pertengahan Abad ke IX salah satu turunan Imam Husein di rajakan di Peurelak. Ini merupakan migrasi kedua dari turunan Imam Hasan dan Imam Husein di Nusantara.
Kedatangan bangsa Arab diawal abad VII melalui Bandar Tiku diabadikan didalam cerita rakyat ditanah Minang (Ba Khaba). Kemudian bangsa Arab ini membuka perkampungan tidak jauh dari Bandar Tiku dan kampung tersebut sampai saat ini bernama Ghasan. Kemudian terjadi asimilasi dan akultrasi budaya Hindu dan Islam.
Diceritakan mendaratnya Sidi Nan Sabatang di Bandar Tiku beserta rombongan, Sidi Nan Sabatang tersebut membawa seluruh keluarganya. Isteri dan para pembantu serta para pengawal. Sidi Nan Sabatang tersebut punya sembilan anak laki-laki dan mereka lebih dikenal dengan sebutan Sidi Nan Sambilan.
Sedangkan berapa jumlah anak perempuan Sidi Nan Sabatang tidak ada kabar beritanya, namun diceritakan anak perempuan Sidi Nan Sabatang tersebut dikawinkan dengan Raja Hindu yang sudah memeluk Agama Islam dan anak dari hasil perkawinan tersebut bergelar Bagindo.
Namun sampai saat ini tidaklah diketahui secara pasti Sidi Nan Sabatang tersebut berasal dari fam (keluarga) mana, bila ditelisik dari lintasan sejarah tentang tekanan yang dialami oleh turunan Imam Hasan dan Imam Husein serta jalur migrasi mereka maka besar kemungkinan turunan Imam Hasan lah yang mendarat di Tiku dan menyebar dikawasan Pariaman dan sekitarnya.
Turunan Imam Hasan yang sampai di Tiku Pariaman berasal dari satu orang yaitu Sidi Nan Sabatang, kemudian mempunyai anak laki-laki yang disebut dengan Sidi Nan Sambilan, dari Sidi Nan Sambilan berkembanglah turunan Sidi selama 1300 tahun di Pariaman, mereka berkembang seperti butiran hujan yang turun ke bumi, bagaikan butiran pasir yang ada ditepian pantai.
Gelar Sidi.
Gelar Sidi.
TERPUTUSNYA NASAB SYAID PARIAMAN
Setelah terjadinya Islamisasi secara damai maka berubahlah struktur masyarakat Hindu Pariaman. Kasta berubah menjadi gala atau gelar. Brahmana menjadi Sidi dan mereka adalah pemuka agama Islam banyak diantara mereka menjadi Tuanku (panggilan Ulama Minang).
Ksatria menjadi Bagindo dahulunya mereka adalah para pembesar kerajaan dan merupakan kaum bangsawan. Waisya menjadi Sutan, mereka adalah kaum pedagang dan pengusaha, gelar ini biasanya juga diberikan atau dihadiahkan kepada orang asing yang dihormati.
Sudra atau Paria menjadi Marah ini merupakan struktur paling rendah dalam masyarakat Pariaman sampai saat ini. Orang yang bergelar Marah tak boleh dipanggil Rajo (Ajo), mereka biasanya dipanggil Uda seperti orang Minang yang mendiami dataran tinggi (pedalaman) Minang.
Gelar atau gala diwarisi secara turun temurun dari pihak ayah, sedangkan kekerabatan dari diwariskan dari pihak ibu (Matrilineal). Bila ayah seseorang begelar Sidi maka si anak juga bergelar Sidi (gala ndak dapek diasak), dan bila ibunya bersuku Chaniago maka si anak bersuku Chaniago.
Mungkin hal ini menjadi salah satu penyebab para Sidi di Pariaman tidak mengetahui fam mereka, karena dibelakang nama mereka tidak dicantumkan fam seperti turunan Imam Husein yang datang dari Hadramaut ke Nusantara. Mereka biasanya mencantumkan suku dari ibu dibelakang nama sedangkan gelar didepan nama.
Seorang yang bergelar Sidi (singkatan dari Syaidi) haruslah mencantumkan gelar Siti (singkatan dari Syaidati) didepan nama anak perempuannya. Tak ada orang Pariaman yang berani mencantumkan gelar Siti didepan nama anak perempuannya kalau mereka bukan bergelar Sidi.
Kalau di tanah Melayu anak perempuan dari turunan Said didepan namanya dicantumkan gelar Syarifah. Inilah kebiasaan yang berlangsung selama ribuan tahun, dan saat ini sudah jarang seorang perempuan dari turunan Sidi memakai gelar Siti.
Seorang yang bergelar Bagindo merupakan turunan pertama dari anak perempuan Sidi Nan Sabatang yang menikah dengan raja Hindu yang sudah memeluk agama islam.
Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan tersebut diberi gelar Bagindo dan untuk seterusnya gelar tersebut diwariskan kepada anak Laki-laki, sedangkan anak perempuan memakai gelar Puti. Pemakaian gelar Puti pada anak perempuan yang ayahnya bergelar Bagindo saat ini sudah hampir hilang atau hilang sama sekali.
Pemakaian gelar Siti untuk anak perempuan dari turunan Sidi maupun pemakaian gelar Puti untuk anak perempuan dari turunan Bagindo saat ini sudah hilang. Pemakaian gelar tersebut bukan saja untuk menguatkan identitas tapi lebih pada penjagaan diri si anak tersebut.
Seorang Sidi kalau bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti maka dia akan memperlakukannya dengan penuh hormat dan menganggapnya sebagai saudara kandung, demikian juga perlakuan yang diberikan kepada perempuan Pariaman yang bergelar Puti.
Bila Sutan atau Marah bertemu perempuan Pariaman yang bergelar Siti atau Puti mereka akan menghormatinya dan tidak berani bersikap lancang. Penghormatan ini diberikan karena keduanya merupakan turunan dari Sidi Nan Sabatang yang merupakan zuryat (keturunan) Rasulullah Muhammad SAW.
Menurut Hamka turunan Rasulullah yang ada di Pariaman bergelar Sidi (Dari Perbendaharaan lama dan Panji Masyarakat) mereka bisa dikenali dari ciri-ciri fisiknya, berwajah arab atau berwajah oriental. Dari cerita rakyat (khaba) Pariaman, Sidi Nan Sabatang beristri seorang perempuan China.
SIDI BANGSA YANG DIRAJAKAN
Dalam adat istiadat masyarakat Pariaman Gala Pusako dari Ayah berbeda dengan orang Minang yang berasal dari dataran tinggi (pedalaman) Gala merupakan pusako dari Mamak ke kemenakan (dari paman ke kemenakan). Sewaktu orang-orang dari dataran tinggi menjadikan daerah Pariaman sebagai daerah Rantau (jajahan), Gala Pusako dari ayah tidak bisa digantikan dengan sistem adat yang dibawa dari dataran tinggi tersebut.
Rombongan yang datang dan mendarat di Bandar tiku (berbatasan dengan Luhak Nantigo) serta mendirikan perkampungan dan menamakannya kampung Ghasan (untuk mengenang asal mereka Bani Ghasan). Sidi nan sabatang beserta keluarga dirajakan (dirajokan/dihormati layaknya raja) oleh Bani Ghasan.
Penduduk pribumi baik yang ada di Pariaman maupun yang datang dari dataran tinggi pada akhirnya juga merajakan mereka. Keturunan Sidi nan sabatang baik yang bergelar Sidi maupun Bagindo dipanggil dengan panggilan Ajo (Rajo). Sutan yang merupakan kaum pengusaha dan pedagang juga dirajokan atau dipanggil Ajo.
Panggilan Ajo merupakan panggilan dari seorang adik kepada abangnya, bisa juga panggilan untuk orang yang usianya lebih tua. Orang yang boleh dipanggil Ajo adalah seseorang yang bergelar Sidi, Bagindo dan Sutan. Panggilan Uda merupakan panggilan seorang adik kepada abangnya atau panggilan kepada seseorang yang usianya lebih tua.
Menurut adat di Pariaman seseorang yang bergelar Marah yang boleh dipanggil Uda. Kemudian Orang-orang yang datang dari dataran tinggi Minang juga dipanggil Uda oleh orang Pariaman karena mereka adalah penduduk asli Tanah Minang atau melayu Minangkabau atau kaum pribumi ranah Minang. Sama dengan penduduk yang lebih dulu ada di Pariaman ketika rombongan Sidi Nan Sabatang mendarat di Bandar Tiku juga dianggap sebagai bangsa pribumi.
Beginilah cara para Bani Hasyim yang sampai di Pariaman dalam menyikapi perbedaan antara Bani Hasyim dan penduduk asli melayu Minangkabau. Bangsa Melayu yang tinggal di dataran tinggi (pedalaman) bisa hidup secara damai dan harmonis walaupun berbeda dalam adat dan istiadat.
Orang-orang yang bergelar Sidi dan Bagindo di Pariaman lebih bersifat egaliter, Gelar tersebut tidak menjadikan mereka orang yang sombong dengan keturunannya. Mereka berbaur dengan masyarakat pribumi, juga terjadinya asimilasi melalui perkawinan, walaupun masih ada juga yang mempertahankan pernikahan sekufu (Siti untuk Sidi).
Datuk Parpatiah Nan Sabatang sebagai peletak dasar pemerintahan desentralisasi Bodi Chaniago dalam mamangan disebut “duduak sahamparan, tagak sapamatan.” Hal ini menyiratkan bahwa kedudukan raja dan rakyat adalah sama didalam hukum (Demokrasi).
Sistem ini memandang semua orang sama dan sederajat secara hukum, inilah yang menjadikan masyarakat Pariaman menjadi egaliter. Sangat berbeda dengan sistem sentralistik pemerintahan Koto Piliang yang dibangun oleh Datuk Katumangguangan, yang didalam mamangan disebutkan “Rajo ditantang, mato buto.” Hal ini bermakna bahwa raja punya kekuasaan yang Absolut, sehingga rakyat harus menjalankan apapun titah raja (Feodal).
Pada perkembangannya terjadi perpaduan kedua sistem tersebut yang didalam mamangan disebut “Rajo alim rajo disambah, rajo zalim rajo dibantah”.
Sampai saat ini sistem inilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau, yang bermakna ketika seorang penguasa memimpin dengan adil maka rakyat akan menghormati, ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap rakyat maka penguasa tersebut wajib untuk tidak didukung bahkan digulingkan dari kekuasaannya.
SEBAB MUSABAB HILANGNYA GELAR SIDI
Ada perbedaan yang fundamental antara zuryat Rasulullah di Pariaman dan dan zuryat Rasulullah didaerah lain di Nusantara dalam hal menjaga gelar keturunan. Gelar Sidi dalam adat yang berlaku di Pariaman bisa saja hilang diakibatkan beberapa hal, diantaranya adalah gelar Sidi disandang dan dilekatkan ketika seorang dari turunan Sidi sudah menikah, maka keluarga pihak perempuan memanggil menantunya, atau iparnya tersebut dengan gelar yang disandangnya. Bila dia tidak menikah sampai akhir hanyat maka dia tidak pernah dipanggil dengan gelar yang disandangnya.
Sebab lain adalah ketika keturunan Sidi menikah dengan orang yang tidak sebangsa (Pariaman), misalnya menikah dengan perempuan Jawa atau perempuan dari suku lain yang ada di Nusantara. Maka tentu saja pihak keluarga perempuan, apakah itu ipar atau mertua tidak ada yang memanggil Sidi.
Menikah dengan penduduk asli Minang yang berasal dari Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah datar, Limo Puluh Koto), oleh mereka siapapun menantu mereka, apapun bangsa menantu mereka, apakah bergelar Sidi, Bagindo, Sutan atau Marah, apakah berasal dari Pariaman atau daerah lain tetap saja dipanggil Sutan.
Adapun sebab lain adalah malu menyandang gelar Sidi, seorang yang bergelar Sidi biasanya malu dipanggil Sidi bila sikap dan moralnya tidak baik. Hal yang sangat mendasar menjadi penyebab hilangnya gelar Sidi tersebut adalah gelar tersebut tidak disandangkan kepada nama anak keturunan sejak lahir.
Sangat berbeda dengan turunan Alawy yang datang pada awal abad VIII sampai dipenghujung abad XVI, mereka menyandangkan gelar tersebut didepan nama anaknya sejak mereka lahir.
Tulisan ini bukan untuk membanggakan keturunan tertentu atau merendahkan keturunan yang lain, hal ini semata-mata untuk mengingatkan penulis sendiri. Ketika kita menghadap Allah yang ditanyakan adalah amal dan ibadah yang kita lakukan semasa hidup bukan dari keturunan siapa kita berasal.
sumber :www.saribundo.biz
Semuanya terjadi ketika pendudukan kerajaan Aceh dipesisir barat sumatera daerah rantau Minang kabau ,teori yang dipakai kerajaan aceh ini hampir miriplah dengan teori Belanda yang menempat kan pribumi sebagai warga kelas terbawah ,dan yang dilakukan kerajaan Aceh lebih kepada upaya menghilangkan identitas keminangan, orang India didatangkan Belanda selayak nya Cina juga difasilitasi Belanda dalam perdagangan mengekang kemajuan pribumi.
BalasHapusJadi gak ada kasta kasta dipariaman apalagi warisan Hindu😁😁😁
Yang ada adalah upaya kerajaan Aceh menghilangkan pengaruh Pagaruyung di Pariaman sebagai salah satu rantau Minang kabau yang telah dikuasainya
Nak jadi habaib pula😂😂😂😂
BalasHapusHabib bukan juriat nabi, sayyid / sidi lah juriat nqbi
Hapus