Fhoto Ilustrasi : Internet |
Oleh : Ayu Putri Ningsih, S.Si
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Fisika, FMIPA, Unand
TAK ADA yang menyangka bahwa dunia akan direpotkan dengan situasi seperti yang kita rasakan saat ini.
Semuanya kerepotan mengurus negara masing-masing agar segera keluar dari “situasi mencekam akibat musuh tak kasat mata” yaitu virus Corona.
Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan.
Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.
Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia.
Virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai dari bayi, anak-anak, hingga orang dewasa, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui namun lebih banyak menyerang lansia
Penyebaran virus ini adalah antara manusia ke manusia melalui tetesan cairan saat orang yang terinfeksi sedang batuk atau bersin dari mulut dan hidung.
Cara penularan ini mirip dengan penularan flu. Gejala seseorang yang terjangkit virus ini yaitu demam, batuk, dan napas yang pendek.
Pasien Virus Corona dapat mengalami gejala-gejala ini dari 2 hari sampai 14 hari setelah terpapar virusnya.
Oleh karena itu jika seseorang yang memiliki gejala seperti ini untuk mengetahui apakah dia terjangkit atau tidak bisa dilihat setelah maksimal 14 hari.
Akhir desember 2019 Cina dikejutkan dengan ditemukanya Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019). Pertama kali ditemukan di kota Wuhan.
Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara seperti Amerika, Rusia, Brazil, Spanyol, Inggris Raya, Italia, Perancis, Jerman , Turki, Iran dan masih banyak lagi, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan.
Dengan penyebaran yang begitu cepat beberapa negara menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona.
Bahkan Di Indonesia, diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini.
Beberapa studi memperlihatkan bahwa negara dengan posisi lintang tinggi mempunyai kerentanan penyebaran covid-19 yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tropis (Araujo et. al. 2020; Chen et. al. 2020; Sajadi et. al. 2020; Sun et. al. 2020; Wang et. al. 2020).
Beberapa hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kondisi ideal untuk virus korona ialah temperatur sekitar 8-10 °C dan kelembapan 60%-90% sebagaimana dapat dilihat dalam penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020).
Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif, dan kecepatan angin cukup memiliki peran dalam penyebaran covid-19.
Temperatur dingin dan kering merupakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi kelangsungan hidup virus (Sun et. al. 2020). Penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1 °C) terhadap jumlah dugaan kasus covid-19 per-hari.
Melemahnya host immunity seseorang dapat juga dipicu oleh kodisi udara dingin dan kering, yang dapat mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus sebagaimana yang dituliskan di dalam studi oleh Wang et. al. (2020). Sun et. al. (2020) menjelaskan bahwa suhu rendah memiliki pengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh manusia.
Di sisi lain, pada negara-negara tropis dalam perkembangan kondisi saat ini menunjukkan kerentanan yang cukup tinggi terpapar covid- 19.
Hal ini diperkuat dengan adanya penelitian lain yang dilakukan oleh kelompok peneliti dari Boston Children’s Hospital dengan menggunakan data penyebaran kasus covid-19 di Tiongkok.
Penelitian pada 23 Januari hingga 10 Februari itu menunjukkan bahwa faktor tunggal kondisi cuaca saja tidak dapat menurunkan kasus covid-19, tanpa implementasi dari intervensi kebijakan dalam kesehatan publik yang ekstensif (Luo et. al., 2020; Poirier et. al., 2020).
Hal ini jelas terbukti dalam kasus covid-19 di Indonesia. Dengan kondisi cuaca dan iklim di Indonesia yang umumnya ditandai dengan suhu dan kelembaan yang tinggi, semestinya kasus covid-19 tidak dapat berkembang.
Itu terbukti pada Januari hingga Februari 2020 yang lalu merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak covid- 19 terjadi di Indonesia. Namun pada kenyataannya kasus Covid 19 selalu bertambah.
Analisis suhu udara rata-rata wilayah Indonesia di dekat permukaan bumi pada Januari hingga Maret 2020 umumnya menunjukkan nilai antara 27°C hingga 30°C.
Selain faktor musim, variasi spasial suhu udara rata-rata antara satu wilayah dengan wilayah lain juga dipengaruhi oleh faktor topografi.
Tempat dengan elevasi dari permukaan laut yang lebih tinggi umumnya akan memiliki suhu udara yang lebih rendah.
Pada April hingga Juni 2020 suhu udara ratarata di wilayah Indonesia diprediksi berada pada kisaran 26°C hingga 29°C.
Adapun pada Juli hingga September 2020 yang akan datang, suhu udara ini diprediksi berada pada kisaran 26°C hingga 28°C.
Suhu udara rata-rata yang lebih rendah dari bulan-bulan sebelumnya ini merupakan hal yang wajar mengingat di wilayah Indonesia bagian selatan sudah mulai memasuki musim kemarau.
Indonesia sebagai negara yang terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27-30 °C dan kelembapan udara berkisar antara 70% - 95% merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak covid- 19.
Meski demikian, fakta di lapangan menunjukan bahwa kasus covid-19 telah menyebar di Indonesia. Dengan kata lain, faktor mobilitas orang lebih berpengaruh dalam penyebaran dan peningkatan covid-19 di Indonesia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor suhu dan kelembapan udara di indonesia hanya menjadi faktor pendukung dalam mengurangi risiko penyebaran wabah covid-19.
Apabila upaya pembatasan mobilitas orang/interaksi sosial, serta upaya intervensi kesehatan masyarakat lebih intensif diterapkan dan ditegakkan. (****/)