Oleh : Idenvi Susanto
Pertarungan Pilkada tahun 2020 telah menunjukkan suhu politik yang meningkat. Tensi politik semakin meninggi karena memasuki masa-masa di mana partai politik telah mulai menunjukkan "kartu saktinya" tentang siapa yang akan diusung untuk bertarung di medan perang.
Pembukaan "Kartu saktinya" dari Parpol terlihat pada rekomendasi resmi beberapa Parpol terhadap tokoh yang diajukan serta sikap Parpol yang secara resmi mengeluarkan rekomendasinya
Rekomendasi Parpol menjadi salah satu "putusan hakir" dalam tahapan penyelenggaraan Pilkada karena dengan rekom tersebut maka berbagai spekulasi tentang siapa tokoh yang akan direkom suatu partai telah berakhir.
Rekomendasi Parpol setidaknya telah membuka peta politik di suatu daerah. Rekomendasi partai politik secara langsung telah menentukan siapa yang menjadi lawan dan kawan politik.
Tentu saja, peta politik tidak hanya ditentukan oleh rekomendasi Parpol semata melainkan juga dipengaruhi oleh kehadiran calon perseorangan atau independen.
Beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat yang dinamika politiknya dipengaruhi oleh calon perseorangan adalah Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Pasaman Barat.
Kota Bukit Tinggi terdapat pasangan Ramlan Nurmantias-Syahrizal. Kabupaten Sijunjung terdapat pasangan calon Endre Saifoel-Nasrul.
Kabupaten Lima Puluh Kota Ferizal Rikwan-Nurkhalis. Sedangkan untuk Pilkada Kabupaten Pasaman Barat terdapat pasangan calon Agus Susanto-Rommy Candra.
Majunya pasangan calon dari non partai politik menunjukkan beberapa hal. Pertama, warga negara yang memiliki hak untuk mengembangkan dirinya dalam dunia pemerintahan dengan menjadi calon kepala daerah telah berusaha untuk mengambil hak-haknya sebagai bakal calon pasangan kepala dan wakil kepala daerah.
Hak warga Negara untuk maju melalui jalur non Parpol atau perseorangan diatur dalam UU Nomor 10 tahun 2016 Pasal 41 ayat 2 tentang Pilkada.
Dengan munculnya jalur perseorangan tersebut, maka dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harus diajukan oleh Parpol atau gabungan Partai Politik.
Hal ini penting karena selama ini masih banyak orang yang menilai bahwa seseorang dapat maju sebagai peserta Pilkada apabila diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik seperti syarat untuk maju sebagai peserta pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang wajib diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol.
Dalam hal persyaratan antara Pilkada dan Pilpres memang berbeda, dalam Pilpres tidak memperkenankan calon dari luar Parpol (perseorangan) sedangkan dalam Pilkada kesempatan tersebut diberikan.
Kedua, majunya warga negara melalui jalur perseorangan juga menunjukkan banyaknya warga negara yang ingin maju Pilkada namun tidak mau ribet dengan "mekanisme" partai politik serta kepentingan partai politik.
Ketiga, fenomena calon perseorangan juga dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap partai politik. Warga negara yang selama ini sudah "Bosan" dengan gaya berpolitik Parpol mencoba melakukan perlawana melalui kompetisi resmi bernama Pilkada.
Apabila calon perseorangan berhasil memenangi Pilkada maka tentu hal tersebut menjadi pukulan telak bagi partai politik.
Pukulan telak karena dengan kemenangan dari jalur calon perseorangan maka hal tersebut menunjukkan bahwa partai politik tidak memiliki hati dimata rakyat.
Kemenangan calon perseorangan dalam Pilkada bukanlah khayalan . Kemenangan calon perseorangan telah dibuktikan dalam beberapa Pilkada seperti pada Bukit Tinggi dan Kabupaten Batubara.
Keempat, kemenangan calon perseorangan dalam Pilkada juga menunjukan bahwa partai politik tidak berhasil menjalankan fungsinya dalam melakukan fungsi rekrutmen dan pendidikan politik.
Apabila partai politik berhasil menjalankan fungsi rekrutmen maka orang yang dicalonkannya adalah orang yang telah dikader dan dipersiapkan untuk memimpin suatu daerah dan diprediksi dapat merebut kemenangan.
Sebab, rekrutmen disini memiliki arti bahwa partai politik adalah lembaga resmi atau distributor yang paling tepat dalam menyuplai tokoh-tokoh yang akan memimpin suatu daerah.
Kalau kepala daerah yang dipilih oleh rakyat dalam Pilkada adalah calon perseorangan maka hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa partai politik bukanlah distributor pemimpin seperti diharapkan oleh konsumen (rakyat) dalam Pilkada. Partai politik tidak dapat menyediakan "Barang" sesuai permintaan pembeli.
Munculnya calon perseorangan dengan potensi kemenangannya merupakan ancaman tersendiri bagi Parpol.
Ancaman karena Parpol yang merupakan pilar demokrasi terbukti tidak mampu menjalankan fungsi subtansialnya sebagai institusi yang harus melakukan pendidikan, kaderisasi, retrumen dan sosialisasi politik.
Kemunculan dan kemenangan calon perseorangan dapat menjadi angin segar bagi rakyat yang semakin resah dengan perilaku partai politik.
Rakyat akan menjadikan fakta kemenagan di pilkada sebagai energi dan amunisi untuk melawan dominasi dan oligarki partai politik dalam suksesi kepemimpinan tingkat lokal. Rakyat semakin memiliki keyakinan bahwa kepemimpinan tingkat lokal dapat diraih tanpa partai politik. "Dari rakyat untuk rakyat". (***/)