Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman merupakan dua daerah bertetangga beradik kakak yang sering disebut juga dengan Piaman.
Bahasa Rang Piaman ini sedikit beda punya ciri khas jika dengan bahasa Minang lainnya. Berikut kosa kata/ logat Piaman yang wajib anda ketahui.
1. We-e
Kalau sebutan untuk "dia" atau "mereka" dalam dialek khas Piaman adalah "we-e". Oleh sebab itu, pengidentifikasian daerah asal dapat dengan kentara dilakukan oleh orang-orang Minang melalui dialek yang digunakan.
Karena, dalam bahasa Minang yang terbilang lebih baku, kata "dia" atau "mereka" umumnya menggunakan kata "inyo".
Contoh:
We-e pai ka Bukittinggi
(Dia/Mereka pergi Bukittinggi).
2. E
"E" dapat digunakan sebagai versi leksikal yang lebih singkat dari "we-e", yang bermakna "dia". Selain itu, "e" juga mempunyai versi leksikal "je" di Pariaman, yang keduanya bermakna "se" dalam bahasa Minang yang lebih standar seperti penggunaan di ibukota Sumatera Barat, Padang. Kata-kata tersebut merujuk pada kata "saja".
Contoh:
E alah pulang.
(Dia sudah pulang.)
Sampelo nan iko e lah.
(Pepaya yang ini aja deh.
3. Nyeh
Mirip seperti "we-e", penggunaan "nyeh" juga merupakan dialek kentara yang dituturkan oleh orang Pariaman. "Nyeh" adalah versi leksikal lokal dari "nyoh" dalam bahasa Minang yang lebih standar. Kata ini merujuk "cuma" dalam bahasa Indonesia.
Contoh:
Iko e nyeh? Senek na mah Pensi e...
(Cuma ini aja? Dikit banget Pensi nya...)
4. Wayoik
"Wayoik" ataupun "owaik" digunakan sebagai kata eksklamatif (kata seru) dalam dialek Pariaman. Versi leksikal yang lebih umum dikenal oleh orang awam yakni "ondeh" ataupun "ondeh mandeh". Kata ini digunakan untuk menyatakan perasaan kagum atau heran.
Contoh:
Wayoik! Sulaman ma ko? Ancak bana...
(Wah! Sulaman mana ini? Bagus banget...)
Usut punya usut, kota ini, tepatnya di Naras (Kec. Pariaman Utara) juga dikenal dengan kerajinan tangan bordirannya yang telah merambah pasar domestik hingga internasional.
5. Penghilangan dan penggantian huruf "r"
Walau nama daerahnya adalah Pariaman, tetapi orang-orang Pariaman menyebutnya dengan nama "Piaman". Penghilangan huruf "r" juga berlaku pada kosakata lain seperti "karambia" menjadi "kambia" yang berarti "kelapa".
Selain itu, huruf "r" juga kerap diganti menjadi "gh" seperti kata "baghuak" yang berasal dari kata "baruak" dalam bahasa Minang baku. Kedua kata ini merujuk pada kata "beruk" dalam bahasa Indonesia.
Contoh:
Baghuak mamanjek batang kambia.
(Beruk memanjat pohon kelapa.)
6. Cik Ajo / Cik Uniang
Sebutan tersebut adalah "cik ajo (atau ajo)" untuk kakak laki-laki, dan "cik uniang (atau uniang)" untuk kakak perempuan. Singkatnya, panggilan tersebut merujuk pada sebutan "uda" dan "uni" yang biasanya lebih lazim dikenal oleh masyarakat luar Minang.
Contoh:
Ajo Rudi manggaleh Sala di pasa.
(Bang Rudi berjualan Sala di pasar.)
7. Gelar keturunan laki-laki
Keturunan laki-laki yang berdarah Pariaman dari pihak ayah (patrilineal) akan mewariskan gelar secara turun-temurun.
Secara adat, menantu laki-laki tak dipanggil dengan namanya, tapi dengan gelarnya (Sidi, Bagindo, Sutan, Marah) sebagai bentuk penghormatan. Melalui gelar tersebut, nasab keturunanya pun dapat ditelisik.
Misalnya jika pria Pariaman bernama Syahrial dan ayahnya bergelar "Bagindo", maka setelah menikah akan dipanggil "Bagindo Syahrial".
Kendati terdapat berbagai sejarah yang agak berbeda, namun yang paling umum diketahui yakni:
"Sidi" (keturunan ulama yang menyebarkan Islam di Pariaman). Keturunan laki-laki dari gelar ini akan dipanggil "Sidi", dan konon keturunan perempuan disematkan nama "Siti". Namun, penamaan untuk perempuan yang bernasab dari gelar Sidi tak lagi menjadi sesuatu yang lazim pada zaman ini.
"Bagindo" (keturunan raja, bangsawan, dan petinggi dari Kesultanan Aceh yang pada zaman dahulu menguasai kawasan Pariaman). Jika laki-laki digelari "Bagindo" (dari kata paduka Baginda), maka keturunan perempuannya ditambahkan nama "Puti" (dari kata tuan Putri). Mirip seperti penamaan untuk perempuan dari keturunan Sidi, penyematan nama "Puti" pun tak lagi umum.
"Sutan" (keturunan raja, bangsawan, dan petinggi Istana Pagaruyuang yang ditugasakan sebagai wakil di Rantau Pasisir Piaman). Selain nasab tersebut, konon gelar ini juga disematkan pada para saudagar.
"Marah" (tak berketurunan dari pihak ulama maupun pihak raja, bangsawan, dan petinggi). Gelar ini memang terbilang agak jarang didengar. (***/)
Tulisan dikutip/disalin dari www.idntimes.com
https://www.idntimes.com/life/education/rahmadila-eka-putri/kosakata-pariaman-c1c2
t
BalasHapust