Oleh : Pandu Winata, Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau.
FILM sebagai sebuah karya seni dan media audio visual saat ini semakin berkembang Pesat. Film telah menjadi media komunikasi audio visual yang akrab dinikmati oleh segenap masyarakat dari berbagai rentan usia dan latar belakang sosial.
Kekuatan dan kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli beranggapan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya.
Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar lebar.
Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat. Terlebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat memberikan sarana bagi perkembangan dunia perfilman.
Meskipun masih banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek khusus bagi para penontonnya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian itu semua berkaitan dengan efek media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga begitu kuatnya media mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton (Tamburaka, 2013:117).
Namun dampak yang perlu diantisipasi adalah di samping memberi dampak positif, film tentu juga memiliki dampak negatif. Seperti terjadi pada beberapa film yang dibuat hanya untuk mencari keuntungan rumah produksi tersebut tanpa memperhatikan efek dari film yang dibuatnya.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu dikolaborasikan untuk mencapai efek yang diinginkan. Karena film merupakan produk visual dan audio, maka tanda-tanda ini berupa gambar dan suara.
Tanda-tanda tersebut adalah gambaran tentang sesuatu, didefinisikan sebagai sebuah teks yang pada tingkat penanda terdiri atas serangkaian imaji yang mempresentasikan aktivitas dalam kehidupan nyata pada tingkat petanda. Film sebagai bentuk komunikasi, mempunyai banyak genre atau tipe.
Karena film merupakan produk seni maka ide-ide yang muncul dari benak atau pikiran merupakan realitas maupun khayalan yang tampak dikehidupan. Maka genre terbagi menjadi bermacam-macam mulai dari aksi, fiksi, petualangan, budaya, dokumenter, romansa, horor, komedi, animasi, persahabatan, drama, tragedi, keluarga, sains, bahkan sejarah.
Dari beberapa judul film yang mengangkat tema kebudayaan, film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck salah satu film yang sarat menampilkan budaya Indonesia. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang disutradarai oleh Sunil Soraya diadaptasi dari Novel karangan Buya Hamka berjudul sama yang terbit pada tahun 1938.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menceritakan seorang yatim piatu yang bernama Zainuddin.
Ia ditinggal mati oleh kedua orang tuanya saat masih kecil. Kisah hidup dan percintaannya dipermasalahkan oleh masalah adat. Ayahnya orang Minang sedangkan ibunya orang Makassar. Ia dibesarkan oleh seseorang yang telah mengasuhnya dari kecil saat ayah ibunya masih hidup hingga ia ditinggal mati kedua orang tuanya sampai ia dewasa.
BACA JUGA : ARTIKEL INI
Ditempuhnya tanah Minangkabau dengan cita-cita besar, cita-cita untuk menempuh tanah sang ayah, tanah tempat dibangsakan menurut istiadat dunia. Namun kedatangannya di sana ia tetap dipandang sebagai orang Makassar, sebagaimana di Makassar ia dipandang orang Padang. Menurut adat Minang, seseorang dapat dikatakan orang Minang apabila ia mempunyai garis keturunan seorang ibu yang berpenduduk asli Minang.
Inti dari Film ini yang diadaptasi dari Novel karangan Buya Hamka adalah lika-liku kehidupan Zainuddin yang dipermasalahkan dengan suatu Adat Minangkabau yang sangat kental. Hingga kisahnya cintanya dengan gadis Minang bernama Hayati ditentang hebat oleh keluarga Hayati karena ia bukanlah seorang pemuda asal Minang asli.
Menurut penduduk Minang, Zainuddin bukanlah orang Minang, karena yang berasal dari Minang adalah ayahnya, sedangkan ibunya berasal dari Makasar. Tradisi Minangkabau memiliki tradisi yang unik jika dibandingkan dengan tradisi suku lain.
Keunikan tradisi Minang terlihat dari sistem kekerabatan menurut jalur ibu (matrilineal). Sosok ibu menjadi dasar penentuan nama keluarga. Dalam tradisi Minang, nama keluarga berasal dari keluarga ibu. Di luar Minang biasanya seorang istri akan tinggal di rumah keluarga suami, sebaliknya Minang suami akan tinggal di rumah istri.
Sedangkan urusan anak-anak si ibu mempercayakan kepada sang Paman (mamak), sang Mamak tersebut yang membimbing keponakan. Hubungan kekerabatan antara Mamak dan keponakan ialah hubungan antara seorang anak dengan saudara laki-laki ibunya. Bisa juga dicontohkan sebagai hubungan antara seorang anak laki-laki dengan anak-anak saudara perempuannya.
Kekerabatan matrilineal di Minangkabau diikat dengan satu kesatuan yang ditarik dari satu garis keturunan perempuan. Bagi yang seketurunan seperti ini disebut satu suku.
Karena ia diambil dari garis ibu, maka ia bernama matrilineal. dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini denotasi dari budaya matrilineal Minangkabau adalah status keturunan yang menurut garis ibu, atau matrilineal.
Dalam ini seseorang tidak diakui sebagai orang Minangkabau walaupun ayahnya keturunan asli Minangkabau. Dari sudut pandang masyarakat Minangkabau orang yang seperti itu dianggap bukan orang Minangkabau karena ibunya bukan orang Minangkabau dan dari sudut pandang masyarakat Makassar Zainuddin juga bukan dianggap orang Makassar, karena Makassar menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan berasal dari ayah.
Pada budaya matrilineal Minangkabau ada peraturan perkawinan, yaitu dianjurkan untuk menikah dengan sesama orang Minangkabau. Pernikahan beda suku tidak dilarang oleh agama, tetapi pada budaya Minangkabau pernikahan beda suku yaitu Minang dengan non-Minang akan mengakibatkan efek pengaburan garis keturunan.
Hal ini terjadi jika laki-laki Minang menikah dengan perempuan non-Minang. Kasus ini terjadi pada Zainuddin. Status adatnya tidak jelas karena ayahnya yang orang Minang menikahi perempuan Makassar. Sedangkan garis keturunan atau suku merupakan hal yang sangan penting di Minangkabau.
Dalam film tenggelamnya kapal Van der Wijk ada tiga poin penting yang menunjukkan representasi Budaya Matrilineal Minangkabau berdasarkan 1) Paruik, Organisasi dan Suku, 2) Hubungan kewajiban timbal balik antara mamak dengan kemenakan, 3) Makna falsafah Adat bersandi Syarak, Syarak bersandi Kitabullah.
Paruik adalah persekutuan hukum yang di dalam Bahasa Indonesia dapat kita samakan dengan keluarga. Hanya saja keluarga di sini harus diartikan keluarga besar yang dihitung dari garis ibu, sedangkan suami-suami dari anggota-anggota paruik tidaklah termasuk di dalamnya.
Kedinamisan hukum adat Minangkabau menjadikan ia sangat respons terhadap perkembangan sosial. Pertentangan-pertentangan yang begitu tajam antara hukum adat dan hukum Islam dalam lapangan hukum keluarga. (***/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih