OLEH : SENDY SINTIA RAHMI/MAHASISWI SASTRA MINANGKABAU UNIVERSITAS ANDALAS
Kerajaan Banjar atau kerajaan Islam Banjar adalah sebuah kerajaan yang berada di daerah Kalimantan Selatan. Sultan Suriansyah merupakan sultan pertama kerajaan islam di Banjar, sebelum kerajaan islam Banjar terbentuk islam sudah lama masuk ke daerah ini, sehingga telah terbentuk sebuah masyarakat islam di sekitar kerajaan.
Dengan dasar ini pula dapat diperkirakan bahwa tradisi tulis di kalangan masyarakat telah ada. Tradisi tulis itu dilakukan baik untuk kegiatan keagamaan, misalnya penulisan kitab , maupun untuk keperluan kerajaan. Peranan kerajan islam Banjar dalam penulisan naskah di Kalimantan Selatan di bagi menjadi dua yaitu peranan secara langsung dan tidak langsung.
Proses secara tidak langsung
1. Proses Pendidikan Al-Banjari
Peran al-Banjari, baik sebagai penulis naskah ataupun sebagai pendidik yang melahirkan generasi ulama penulis naskah. Peran Kerajaan terhadap penulisan naskah di Kalimantan Selatan memang tidak hanya di mulai pada masa al-Banjari.
Namun, peranan terbesarnya dimulai dari pendidikan al-Banjari yang dilakukan langsung oleh pihak kerajaan. Al-Banjari diambil oleh sultan Sultan Khamidullah/Tahmidullah (Sultan Kuning) pada saat berumur 7 tahun untuk hidup di istana karena ketinggian intelegensinya. (Abu Daudi, 2003:41—42, Khalidi, 1968: 6) Ketika al-Banjari hidup dalam istana, Sultan pun terus mendidiknya, baik mengenai ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu lain yang berguna bagi al-Banjari dalam mengembangkan bakat dan kecerdasannya.
Hasilnya terbukti bahwa al-Banjari adalah seorang anak yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa dan memiliki daya tangkap yang sangat kuat sehingga segala pelajaran diterimanya dengan mudah.
2. Pendirian Pusat Pendidikan Agama di Kerajaan Banjar
Para muridnya berdatangan dari berbagai pelosok. Semakin lama, semakin bertambah banyak, sehingga kesibukan Al-Banjari meningkat luar biasa. Sebagian muridnya, terutama yang berasal dari jauh diasramakan di tempat yang sudah disediakan.
Tempat ini dikemudian hari telah melahirkan banyak ulama besar sesudah Al-Banjari. Ulama-ulama inilah belakangan yang banyak mewarnai kehidupan keagamaan di Kalimantan Selatan, di antaranya, Syekh Muhammad As’ad dan Syekh Abu Su’ud, masing-masing sebagai mufti dan qadi pertama kerajaan Banjar.
(Humaidi, 2005: 97) Di kalangan wanita, juga muncul seorang ulama, yaitu alimul Fadhilah Fatimah bin Abdul Wahab Bugis, penulis Kitab Parukunan. Kitab ini berisi tentang cara ibadah, rukun sembahyang, puasa, dan lain- lain. Kitab ini sering djuga disebut Parukunan Jamaluddin.
Hal ini disebabkan karena alimul Fadhilah Fatimah menyandarkan tulisannya itu kepada pamannya Mufti H. Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. (Abu Daudi, 2003: 74) Kitab ini sampai sekarang banyak beredar, dipergunakan, dan terus dipelajari di Kalimantan Selatan.
3. Membentuk Mahkamah Syari’ah
Apabila di Kerajaan Banjar ada jabatan penghulu sebagaimana penghulu di Jawa, berarti kerajaan Banjar sudah memiliki lembaga peradilan. Pada zaman Al-Banjari lembaga ini ditingkatkan menjadi Mahkamah Syar’iyyah yang dipimpin oleh seorang mufti.
Pembentukan lembaga tersebut dilakukan sultan atas usul dan nasehat Al-Banjari, (Halidi, 40) yang tujuannya untuk menjaga hukum atau peraturan keagamaan di wilayah kerajaan Banjar, sesuai dengan hukum Islam.
Memang di dalam struktur ini, mufti merupakan Ketua Hakim Tertinggi (Ketua Mahkamah Syar’iyyah), dan di bawahnya ada jabatan qadi yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan mengatur jalannya peradilan agar hukum Islam berlaku dengan wajar.
Mufti yang pertama diangkat oleh sultan adalah Syekh Muhammad As’ad bin Usman cucu Al-Banjari sendiri, sedangkan qadi pertama adalah Abu Su’ud, anak Al- Banjari dengan Bidur. (Abu Daudi, 2003: 87).
Sebagai tindak lanjut dari keberadaan lembaga ini, atas usul Al- Banjari, sultan juga memberlakukan hukum pidana Islam di wilayah kerajaan Banjar. Hukum pidana tersebut meliputi hukuman mati bagi orang Islam yang murtad, hukuman dera bagi penzina,3 hukuman diperangi sultan dan para naibnya bagi mereka yang tidak salat berjamaah (al-Banjari, tt: 22) dan sebagainya. Dengan diberlakukannya hukum pidana tersebut, maka lengkaplah pemberlakuan hukum Islam dimasyarakat Banjar, yaitu perdata dan pidana. Sebagai rujukan dalam memutuskan hukuman di mahkamah syar`iyyah, al-Banjari menulis 2 kitab selain sabilal muhtadīn, yaitu kitāb an-Nikāh dan kitab farāid. kitāb an-Nikāh berisi tentang Kitab ini membahas tentang permasalahan pernikahan dan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pernikahan, misalnya tentang wali.
Menurut G.F. Pijper ( 1985: 73) penghulu bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah keagamaan berdasarkan hukum Islam. Penghulu dapat disebut qadi dalam bahasa Arab, meskipun hanya memiliki keahlian sedikit kalau dibandingkan dengan seorang qadi. Penghulu juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama.
Peranan secara langsung
Peranan kerajaan secara langsung dalam penulisan naskah di Kalimantan Selatan ini bisa sebagai penulis naskah langsung, atau menyuruh orang untuk menulis naskahnya. Misalnya penulisan Undang-undang Sultan Adam, surat-surat Kerajaan Banjar, perjanjian antara Pangeran Nata Dilaga dengan VOC, dan lain-lain. Undang- undang Sultan Adam dibuat oleh Sultan Adam
dengan bantuan mufti H. Jamaluddin dan Pangeran Syarif Husein. Undang-undang Sultan Adam itu terdiri dari dua versi, yaitu versi Martapura 31 pasal dan versi Amuntai berisi 38 Pasal. Undang-undang ini ditetapkan pada hari Kamis, 15 Muharram 1251 H (11 Juni 1835 M) oleh Sultan Adam Sendiri. (Abu Daudi, 2003:30--31).
Peranan Kerajaan secara langsung bisa juga dalam bentuk permintaan kerajaan kepada al-Banjari untuk menulis kitab Sabil al- Muhtadin li at-Tafaqquh Amr ad-Din. Kitab ini selesai ditulisnya pada tanggal 27 Rabiul Akhir 1195 H (22 April 1781 M.) atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah.
Kitab terdiri atas dua jilid yang berisi pembahasan tentang masalah ibadah, yaitu seperempat (satu rubu‘) dari pembahasan masalah-masalah dalam Islam.
Isinya mencangkup semua macam ibadah dalam Islam, dengan memberikan porsi terbesar pada pembahasan masalah sembahyang (shalat), ditambah dengan masalah makanan dan perburuan. Salinan naskah aslinya, yang masih dalam bentuk manuskrip (dua versi) ada di Dalam Pagar,Martapura.
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih