Oleh : Sigit Pamungkas, Universitas Andalas, Jurusan Sastra Minangkabau
Nagari Sijunjung merupakan salah satu Nagari/Desa di Kecamatan Sijunjung Kabupaten Sijunjung yang memiliki kekayaan alam, budaya yang sangat unik dan exotik sebagai bagian dari Kawasan Geopark Nasional Ranah Minang SIlokek memiliki satu perkampungan yang dinamakan " Lorong Waktu Minangkabau"
Sebagai Cagar Budaya Nasional. yang memiliki lebih kurang 76 Buah Rumah Adat yang berjejer rapi dalam satu kawasan perkampungan sekaligus menjadi Homestay yang bisa dihuni oleh wisatawan merupakan binaan langsung CSR BCA Jakarta.
Di masing - masing Homestay pengunjung bisa menikmati sajian kuliner khas Sijunjung dan Souvenir seperti Galamai, Songket, Lomang Panggang dan Makan Bajamba, disamping itu setiap tanunyya diadakan festival Bakaua Adat dan Mambantai Kerbau yang sampai saat ini menjadi satu satunya tradisi turun temburun yang masih dilestarikan di Nagari Sijunjung.
Bakaua atau berkaur adalah sebuah tradisi berkenaan dengan pertanian yang terdapat di kenagarian Sijunjung . Tradisi ini semacam ritual tolak bala yang dilakukan sebelum atau bersamaan dengan kegiatan turun ke sawah atau proses awal mengerjakan sawah.
Di kampung adat kenagarian si junjung terdapat surau yang memiliki nilai yang sarat akan sejarah. Surau simauang pada saat sekarang ini menyimpan sekitar 88 manuskrip kuno (Arab Melayu ). Bangunan surau ini menjadi saksi bisu sisa peradaban masa lampau.
Pada masanya, sekitar tahun 1800-an, puluhan hingga ratusan orang dari berbagai penjuru daerah berdatangan ke sini untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu agama. Mulai ilmu fiqih, tauhid, perukunan, ilmu tafsir, sampai ilmu falaq dan kesehatan dan lainnya.
Setelah dirasa mampu dan mendapat bai'at, masing-masing kembali ke kampung untuk mengabdi, jadi guru, imam, khatib, bilal, guru mengaji dan lainnya. sebagian lainnya ada pula memilih menetap tinggal di Sijunjung, hingga berkeluarga di sana.
Begitu banyak cerita religius terukir di kompleks perguruan Surau Simauang, Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung ini. Sampai-sampai pada masanya kompleks Surau Simauang ikut mengungkapkan syiar Islam bagi Ranah Bundo, Minangkabau.
Namun lagi-lagi, seiring berjalannya waktu, kejayaan syiar Islam memudarkan. Bangunan ratusan tahun ini terlihat terlihat, lapuk dimakan rayap. Bagian atap berkarat (parah), dinding, dan lantai, tak lagi layak pakai. Bila turun hujan, air merembes masuk ke dalam ruangan.
Syekh Malin Bayang merupakan murid Syekh Ahmad yang memiliki padepokan di Subarang Sukam, Kampung Calau, Nagari Muaro. Syekh Ahmad sendiri tercatat sebagai pewaris, sekaligus berstatus keponakan dari Syekk Abdul Wahab, Kampung Calau.
Selain pada Syekh Ahmad, diriwayatkan Syekh Malin Bayang juga pernah berguru pada Syekh Ghaib Padangganting, Syekh Talawi, dan Syekh M Yatim. Picuk bulat keguruan sampai pada Syekk Muchsin, Syekh Burhanuddin, Syekh Abdurrauf, hingga Syekh Ahmad Kusasi.
Seluruhnya bermashab Tareqat Syatariyah.Menurut informasi yang kami dapat dari pewaris sekaligus Imam surau Simauang, A Malin Bandaro Tuanku Mudo mengatakan bahwa di kenagarian Sijunjung lah Islam pertama kali masuk. A Malin Bandaro Tuanku Mudo juga menjelaskan bahwa perguruan surau Simauang meninggalkan banyak bukti sejarah yang berbentuk Manuskrip Arab Melayu dan kitab-kitab kuno.
Namun sayang kondisi Manuskrip tersebut sebagian sudah banyak sudah robek dan sudah tidak bisa di baca lagi. Menurut A. Malin Bandaro Tuangku Mudo, pewaris dan tuangku Surau Simaung, 88 naskah itu merupakan peninggalan Syekh Kitabullah (wafat 1963).
Naskah-naskah tersebut selama ini tersimpan di lemari dalam salah satu bangunan surau kecil di tengah-tengah dua surau besar. Ruangan yang minim ventilasi dan penyimpanan naskah yang bertumpuk dengan benda lain membuat naskah banyak yang rusak. Ada dua naskah tebal yang sama sekali tidak dapat terbaca lagi karena kertasnya hancur.
naskah kuno tersebut merupakan milik Surau Simaung, Jorong Tapian Diaro, Nagari Sijunjung. Di sana terdapat 88 naskah, yang berisi 20.914 halaman naskah, dengan lebih dari 200 teks (kandungan isi naskah). Surau Simaung adalah surau tarekat Syattariyah yang hingga kini masih dikunjungi oleh ribuan peziarah setiap tahun.
Surau ini merupakan salah satu tempat wisata religi ziarah. Sepanjang tahun, ribuan orang datang ke surau-surau tersebut untuk berbagai tujuan, misalnya membayar nazar dan berziarah ke makam ulama.
koleksi Surau Simaung lebih beragam teksnya dibandingkan dengan koleksi naskah di surau-surau lain di Sumatera Barat, antara lain, perhitungan tahun mulai dari perhitungan tahun dunia sejak zaman Nabi Adam, lahir Nabi Muhammad, dan hari kiamat; tentang pembagian tahun Syamsiah dan Kamariah; tentang sistem kalender hijriah taqwim; tentang penetapan puasa.
Dalam konteks wacana Islam lokal Minangkabau, teks takwim yang lengkap ini sangat penting. Perdebatan penentuan awal bulan dalam tahun Hijriah pernah menjadi perdebatan di kalangan ulama Minangkabau pada permulaan abad XX.
Dalam bidang tasawuf, koleksi Surau Simaung cukup lengkap, mulai naskah yang berisi ajaran martabat tujuh yang termuat dalam karya Syamsuddin Sumatrani (Rubai Hamzah Fansuri dan Tubayyin al-Mulahazah al-Mawwâhib wa al-Mulhîd Fî Zikrillâh); karya Syekh Abdurrauf Singkel (Tanbîh al-Masyi); bahkan salinan naskah karya Ali Sirnawi, guru dari Syekh Ahmad al-Qusyasi yang berjudul Mawâhib al-Khamsiyahdan; dan, karya Sayyid Mahumud al-Husni al-Bukhari al-Qadiri al-Syattari yang berjudul Diwâr al-Wujûd fi ‘Ilm al-Haqâ’iq.
Menariknya, di surau ini juga ditemukan naskah-naskah berkenaan dengan ajaran tasawuf dari tarekat Naqsyabandiyah yang ditulis oleh Arif Billah Ahmad Ibrahim. A. Malin Bandaro Tuanku Mudo mengatakan bahwa koleksi Manuskrip di surau Simauang juga diperkaya dengan naskah-naskah yang berisi teks pengetahuan tradisional, seperti cara menentukan kecocokan jodoh dengan menghitung nama pasangan, menenentukan kecocokan yang mengobati dengan yang diobati berdasarkan nama, melihat jenis pasangan dengan nama, melihat hal yang baik dan buruk berdasarkan pala (perjalanan) dan peredaran naga, bulan-bulan yang baik dalam satu tahun berdasarkan bulan-bulan yang dinamai dengan jenis binatang, hari yang baik untuk berjalan dan mendirikan rumah, meramal anak yang sedang dikandung apakah laki-laki atau perempuan, dan tanda-tanda gerak tubuh. Untuk mempertahankan nama dan marwah Surau Simauang, saat ini berbagai kegiatan dan ritual keagamaan masih tetap dilaksanakan di kompleks Surau Simauang, disertai kegiatan wirid pengajian, membaca Al Quran oleh anak-anak.
Oleh : Sigit Pamungkas, Universitas Andalas, Jurusan Sastra Minangkabau
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih