Oleh : Selvi Herianti/Mahasiswa Sastra Minangkabau, Unand
Foto : Googgle |
Seiring berkembangnya zaman, pemikiran-pemikiran Islam di Indonesia mengalami perkembangan juga salah satunya yaitu perkembangan pemahaman Islam dari segi soial dan budaya, hal ini didasari dari pemikiran maupun prilaku para tokohnya.
Hal ini dapat dilihat pada penyebaran Islam dipulau Jawa. Setelah adanya dakwah para Walisongo bersamaan dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan di pulau Jawa, kemudian dakwah Islam dilanjutkan oleh beberapa ulama yang ada di Keraton sampai dengan sekolah-sekolah islam hingga saat sekarang.
Agama Islam berkembang di pulau Jawa menurut Ricklefs dengan sebutan “mystic synthesis in Java”, dengan maksud yaitu polarisasi masyarakat Jawa, yang saat ini disebut dengan Santri.
Menurut Ricklefs terdapat 3 macam dasar dalam islamisasi yang disebut dengan “Sintetik mistik”, yaitu kesatu, membangun agama islam yang kuat menjadi orang Jawa yang muslim; kedua, melaksanakan rukun Islam; ketiga, menerima kenyataan tradisi agama dan budaya lokal.
Kerajaan Islam yang terdapat dipulau Jawa yang keislamannya berkembang yaitu Cirebon, Jawa Barat. Seperti yang dijelaskan dalam sejarah bahwasanya Cirebon adalah salah satu wilayah yang sangat penting di Indonesia baik dalam bidang ekonomi-politik maupun sosial-keagamaan.
Salah satu daerah yang dijadikan sebagai pertemuan antar umat manusia dari berbagai negara di pelabuhannya adalah wilayah Pasambangan yang saat ini Cirebon Utara. Pada naskah-naskah kuno dalam carita Purwaka Caruban Nagari, jelaslah bahwa di daerah Pesambangan mengalami perkembangan karena masyarakat dari China, India, Arab dan negara lainnya banyak yang berdatangan untuk berdagang juga untuk sosial keagamaan sehingga Cirebon pada saat itu menjadi kota kosmopolit.
Kemudian dalam naskah kuno, Carita Purwaka Caruban Nagari, menyebutkan sesungguhnya Islam sudah lebih awal berproses di wilayah Cirebon maupun sekitarnya sebelum Kerajaaan Sunda dan Padjajaran, dengan puncak keemasaannya yaitu pada saat dipimpin oleh Syarif Hidayatullah yang merupakan keponakan pangeran Walangsungsang, Dewi Rara Santang yang memiliki gelar Syarifah Mudaim yang merupakan istri dari Syarif Abdullah yang berasal dari Mesir.
Pada zaman kepemimpinan Syarif Hidayatullah sudah banyak dibangun beberapa mesjid dengan gaya lama yang sampai sekarang ini masih berdiri kukuh, sehingga Syarif Hidayatullah dinobatkan memiliki penganut bermacam jenis tarekat didunia Islam, seperti tarekat kubrawiyah dari Syaikh Najmudin Al-Kubra.
Tarekat merupakan cara atau lintasan untuk mempraktekan dzikir kepada Sang Pencipta, dengan ulama-ulamaa tertentu menggunakan kalimat-kalimat tasawuf yang sering dikenal juga dengan mistik atau suluk.
Naskah tarekat di Cirebon memiliki jumlah yang lebih banyak daripada naskah yang lain seperti Fiqih, Al-Qur’anul Karim, bahasa Arab, dan ramalan yang mengandung unsur tarekatnya. Orang yang belajar suluk disebut dengan ahl at-tariqah atau ahlu as-suluk.
Suluk memiliki dua makna yaitu makna dalam tasawuf yang berisi konsepsi Islam di Indonesia dan as-suluk dalam tradisi Jawa yang berisi Sastra Jawa. As- Suluk mengandung sastra yang terdiri dalam 2 jenis yaitu sastra suluk keraton dan sastra suluk pesisiran.
Suluk ini berisikan pengaruh “martabat tujuh” sehingga susah ditemukan. Salah satu suluk yang memiliki arti tasawuf di naskah Cirebon pada naskah Syatariah WaMuhammadiyah (SWM). Namun, pada beberapa telusuran mengenai tarekat syatariaah yang ada di Cirebon, bahwa SMW dengan Iwak telu sirah sanunggal ( tiga ikan satu kepala, trimina) itu termasuk sebagai as- suluk syatariaah.
Naskah Syatariyah Wa Muhammadiyah (SWM) yang selanjutnya disebut dengan SMW merupakan kitab yang dibawakan oleh guru yang bernama Raden Muhammad Nurullah Habibuddin. Naskah ini dipelajari dari keturunan Partakusumah, naskah ini menurut Mohammad Hilman diperoleh dari ayahnya yang juga merupakan Mursyid Syatariyah.
Kemudian ajaran ini juga diturunkan kepada ketiga anak Raden Muhammad Nurulluah Habibudiin dan juga kepada murid-muridnya. Naskah SMW Berisikan pemahaman tentan tarekat tertentu yaitu kepada bentuk trimina atau tiga ikan satu kepala tersebut.
Selanjutnya, naskah Iwak Telu Sirah Sanunggal yang selanjutnya disebut dengan ITTS merupakan ajaran dari Syaikh Ismail dari Arab yang disebut juga dengan tauhid trimina karena berisikan unsur-unsur ketauhidan.
Naskah ITTS menggambarkan hubungan hamba dan Sang Pencipta sehingga muncul pertanyyan tentang “ orang yang mengetahui Penciptanya menjadi tidak tahu kepada dirinya, bagaimana prilakunya”.
Dari pertanyaan tersebutlah hendaknya seorang murid dapat mengerti antara Tuhan, ruh dan jasad sebagai suatu keselarasan yang diistilahkan dengan ITTS. Pada dasarnya, naskah ITTS menjelaskan semua tentang ketauhidan. Menjadi bagian dari suatu tarekat, ITTS ini juga berkaitan dengan wirid dan dzikir syatariyah yang dilambangkan menggunakan huruf lam dan alif yang diistilahkan dengan perut, dada serta bahu.
Keduanya ini hampir mirip dengan penemuan tentang 41 Suluk Cirebonan, namun didalam 41 suluk tersebut tidak terdapat penyebutan-penyebutan yang telah dipengaruhi oleh aliran Martabat Tujuh.
Suluk iwak telu dan alif lam pada intinya saling berhubungan karena keduanya berisikan jalan bagaimana untuk memahami sang pencipta yaitu Allah ta’ala baik melalui akal pikiran maupun lisan dengan berzikir sebai bentuk untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Berdasarkan pemaparan diatas terlihat jelaslah bagaimana penyebaran tarekat Syatariyah di Cirebon dengan daerah lainnya. Gambar dengan bentuk ITTS dicontohkan menjadi sebuah ciri khusus as-suluk satariah dengan garis keturunan Abdulah bin Abdul Qahhar di dalam naskahnya.
Namun, gambar tersebut tidak saja ada di wilayah Cirebon, karena juga terdapat di Jawa Timur yaitu daerah Lamongan yang memiliki naskah milik Kyai H. Muhammad Bakrin yang dibuat sekitar abad ke-17, naskah ini memiliki kemiripan dengan naskah tiga ikan satu kepala. Hal inilah yang menggambarkan adanya penyebaran ajaran tarekat yang sangat pesat di berbagai daerah Nusantara. (**/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih