Oleh: Vannesa Maharani Putri/Mahasiswi Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau
Negara kita adalah negara dengan kekayaan yang sangat signifikan sepanjang sejarah, seperti peninggalan kitab-kitab kuno, kitab-kitab kuno atau manuskrip.
Naskah kuno ini mengarsipkan berbagai teks kuno untuk membuat orang ingin melihat teks ini dan mengubahnya menjadi panduan dan berfungsi sebagai pendidikan.
Definisi lain dari manuskrip merupakan tulisan yang dicoba langsung dengan tangan serta dengan perlengkapan tulis bukan dengan perlengkapan tulis mekanis, semacam printer, pc. Menulis sudah dipraktikkan semenjak era kuno, saat sebelum timbulnya perlengkapan tulis serta penggunaannya tidak meluas.
Memanglah, keberadaan manuskrip selaku peninggalan budaya meyakinkan arsip budaya masa kemudian kita. Nilai teks- teks ini sangat berarti serta strategis, sebab jadi semacam potret era, menarangkan banyak perihal yang berbeda pada masa itu.
Oleh sebab itu, aksi spesial wajib diambil buat melindungi serta melestarikan naskah tersebut. Naskah ialah salah satu dokumen budaya yang tidak cuma memiliki nilai- nilai tradisional, namun pula jadi fasilitas buat mengamati serta menekuni budaya lain.
Terdapat ratusan naskah yang tersebar di bermacam pelosok Sumatera Barat. Ratusan manuskrip ini diucap oleh para sarjana selaku" naskah Minangkabau" ataupun" naskah Minangkabau".
Pemakaian kedua sebutan ini mengacu pada tulisan yang ditulis dengan huruf Jawi ataupun Arab tentang apa saja serta ditulis dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta ada di Sumatera Barat. Oleh sebab itu, seluruh naskah yang ditemui di Sumatera Barat hendak diucap" naskah Minangkabau" ataupun" naskah Minangkabau".
Naskah kuno muat cerita- cerita lama ataupun cerita masa dulu sekali yang tadinya belum ketahui apa itu sejarah ataupun asal usul dalam cerita naskah serta saat ini cuma dengan membaca naskah kuno warga Minangkabau tersebut dapat menguasai isi dalam naskah tersebut.
Naskah kuno memiliki banyak ratusan naskah yang mempunyai banyak sumber yang sangat berarti serta mempunyai cerita masa dulu sekali yang berharga untuk orang Minangkabau. Hendak namun naskah kuno banyak terpisah- pisah sehingga dalam cerita tersebut terpotong- potong serta keadaan naskah tersebut agak sedikit rusak dalam lembaran naskah- naskah kuno yang sudah lama ditaruh hendak berganti tulisan ataupun tintanya sehingga jadi susah buat menguasai naskah tersebut.
Berbicara tentang manuskrip, ada sebuah manuskrip kuno karya Asrar Al Kahfi yang merupakan karya penting intelektual dan spiritual Minangkabau. Teks ini, khususnya Martabat Tujuh Ajaran, sebagai doktrin suístik-íloso, Martabat Tujuh Ajaran yang terdapat dalam naskah Asrār al-Khafī menunjukkan keterkaitannya dengan ilmu tradisi dan tasawuf Aceh melalui jaringan tarekat Shaṭṭārīyah.
Dengan demikian, secara umum Martabat Tujuh Ajaran dalam teks Asrār al-Khafi dengan sendirinya menunjukkan kemiripan dengan Martabat Tujuh Ajaran yang berkembang di Aceh.
Tetapi, keberadaan 7 ajaran tentang martabat yang tercantum dalam naskah Asrar al- Kaffi di Minangkabau memunculkan respon keras dari golongan muda serta komunitas Tarekat Nakshabandiyah. dari 7 ajaran yang tercantum dalam bacaan Asrār al- Khafi dicabut dari uraian waḥdatul wjudūd.
7 ajaran martabat dalam agama- agama klasik ditemui nyaris di mana- mana di Indonesia. Aliran ini awal kali timbul di India serta diajarkan oleh Muhammad bin Fadrullah al- Burhanpuri( w. 1020 H/ 1620 Meter) di Indonesia, ajaran ini tumbuh di india, Minangkabau, Jawa Barat, dll.
Pemikiran sufi yang tumbuh di Sumatera Barat tidak bisa dipisahkan dari Aceh dengan metode demikian. Perihal ini dibuktikan dengan berkembangnya pemikiran tasawwuf, pemikiran yang sangat selaras di daerah tersebut.
Salah satu tarekat dini yang tumbuh di daerah Aceh merupakan Tarekat Shattariyah. Dalam konteks Sumatera Barat, pertentangan tarekat terhadap 7 Ajaran Martabat terjalin kala terjalin adu mulut antara tuo serta mudo. Tuo mewakili pandangan hidup tradisional yang terpaut dengan tarekat, sebaliknya mudo mewakili kelompok modernis.
Pertumbuhan ajaran 7 Martabat di Minangkabau tidak cuma berasal dari pemuda namun pula dari keengganan terhadap tarekat Naqshabandīyah. Jadi ajarannya berasal dari al- Burhanpuri serta dibesarkan oleh Abdur Rauf selaku khalifah tarekat Syaṭṭarīyah dalam tafsir wahdatul be, sehingga dalam konteks Sumatera Barat nyatanya pengikutnya tidak ia kejar ataupun kembangkan.
Apalagi mereka membatalkan ajaran segala ajaran Syaṭṭarīyah dengan alibi berlawanan dengan prinsip- prinsip syariat. Dengan demikian, apa yang terpaut dengan wujud wahdatul, shaṭṭarīyah di Minangkabau ini berbeda dengan wujud yang dibesarkan oleh Abdur Rauf di Aceh.
Kebenaran tarekat Syaṭṭarīyah, dilihat dari syariatnya, kerap menarik atensi bermacam pemerhati. Mengerti tarekat ini dikira menyimpang dari syariat Islam sebab jelas berbeda dengan ajaran Islam. Hurgronje serta Schrike berkomentar kalau tarekat Shaṭṭarīyah ditatap selaku mistik terkenal dengan motif sesat.
Terdapat pula sekelompok ulama yang meyakini kalau Tarekat Syaṭṭarīyah senantiasa terletak dalam batas- batas ajaran Islam. Tidak cuma tarekat Shaṭṭarīyah, tarekat Naqshabandīyah pula mengalami tantangan seragam. Pasti saja, bersamaan berkembangnya sesuatu doktrin, mengerti, ataupun keyakinan dalam sesuatu komunitas, tidak lepas dari bermacam dinamika serta kasus, baik internal ataupun eksternal.
Naqshabandīyah Minangkabau masih mengalami bermacam motivasi serta permasalahan, semacam yang dicoba oleh para pengembang serta pengikut Naqshabandiyah itu sendiri dan para pengembang serta pengikut ajaran lain yang pula mempraktekkan jaminan pekerjaan tiap orang.
Lebih dahulu, tatanan ini mempengaruhi di India, India, Pattani, serta Campa. Tarekat ini pula berfungsi berarti dalam pertumbuhan Islam di Indonesia, Malaysia serta Pattani. Garis Shaṭṭarīyah awal kali diperkenalkan oleh Abd al- Raūf Singkil pada abad ke- 17. Di Sumatera Barat, tarekat ini dibesarkan oleh Syekh Burhān al- Dīn Ulakan, murid Abd al- Raūf Singkil.
Ajaran serta pemikiran tasawuf Al- Singkili sangat mempengaruhi di Indonesia dalam konteks zamannya. Dengan demikian, Sutta Tingkatan Ketujuh memiliki nilai- nilai religius yang butuh dilindungi serta dilestarikan, semacam yang bisa dilihat di banyak Sutta Edisi Ketujuh.
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih