Oleh: Armaidi Tanjung
Di sela-sela takziah, Selasa (9/5), seorang ayah menyampaikan keluhannya terkait anaknya yang melamar masuk madrasah salah pilih lokasi sekolah. Di samping saya duduk pula seorang guru di salah satu SMP di Kecamatan Nan Sabaris Kabupaten Padang Pariaman.
Sang guru ini spontan menyampaikan, minat tamat sekolah dasar terus meningkat masuk madrasah (Tsanawiyah). Sehingga berdampak terhadap penurunan penerimaan siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Saat ini belum ada jadwal penerimaan siswa di SMP. Sedangkan di madrasah sudah selesai penerimaan dan sudah keluar kelulusannya, diterima atau tidak. Artinya, orang tua dan anak sudah menjadikan madrasah sebagai pilihan pertama melanjutkan pendidikannya.
Tahun lalu sekolahnya cuma yang mendaftar 60 siswa. Jumlah itu bertambah hingga 75 orang karena adanya anak pindahan. Padahal target penerimaan siswa baru 4 lokal atau 128 siswa. Hal ini juga dialami oleh SMP lain.
Adanya peningkatan minat masuk madrasah sebagai sekolah agama ini memang berbeda dengan kondisi 22 tahun lalu. Saat itu, justru minat orang tua sangat rendah memasukkan anaknya ke sekolah madrasah (agama).
Sebagaimana saya sampaikan dalam tajuk Harian Semangat Demokrasi edisi Sabtu, 21 Juli 2001, suatu kenyataan yang ironis, di tengah derasnya arus globalisasi dan krisis moral, krisis akhlak serta krisis keyakinan beragama, minat orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama sangat rendah.
Hal ini menunjukkan sekolah agama dianggap sekolah nomor dua, tidak prioritas utama bagi orang tua untuk mendidik anaknya dengan nilai-nilai agama yang lebih mendalam.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, “Kandepag Prihatin, Minat Masuk Sekolah Agama Sangat Rendah”. Indikasi ini terlihat dari rendahnya minat orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah agama yang dikelola Departemen Agama di Padangpariaman, yakni 13 MTsN, 7 MIN dan 2 MAN. Setiap tahun, sekolah agama ini tidak pernah dibanjiri calon siswa baru. Malah sering kali yang diterima tidak memenuhi lokal yang ada.
Kenyataan ini menunjukkan masih kentalnya anggapan masyarakat bahwa sekolah agama hanyalah sekolah nomor dua, nomor satu adalah sekolah umum seperti SLTP dan SLTA. Anggapan ini sungguh keliru. Karena di segi kualitas pembelajaran sekolah agama tidak kalah dari sekolah umum. Malah dari segi jumlah pelajaran, sekolah agama lebih banyak. Yakni dengan adanya tambahan mata pelajaran agama yang lebih spesifik, mendalam.
Disamping itu, bila lulusan sekolah agama bersaing di jenjang pendidikan lebih tinggi, tidak kalah dengan sekolah umum. Cukup banyak lulusan sekolah agama yang mampu menandingi lulusan sekolah agama. Apalagi anak didik sekolah agama sudah dibiasakan dengan materi pelajaran lumayan banyak dan lebih rumit. Tentu saja akan lebih mudah ketika bersaing dengan sekolah umum.
Anak-anak yang sekolah umum, kalaupun si anak diberikan pelajaran agama tambahan di madrasah, TPA, atau di MDA, barangkali suatu langkah yang baik. Artinya, selain di sekolah umum, juga diberikan pelajaran agama khusus di lembaga pendidikan non-formal.
Namun masalahnya, amat jarang anak-anak sekolah umum (tingkat SMP dan SLTA) yang menyerahkan pendidikan agama anaknya ke lembaga perguruan pendidikan Islam.
Bagi anak sendiri, ada rasa enggan belajar agama, termasuk mengaji Alqur’an, bila sudah tamat sekolah dasar. Sedangkan orang tua sendiri nyaris membiarkan anak tanpa belajar agama lebih lanjut.
Dengan kondisi ini, sangat wajar bila ditemui makin banyak anak-anak sekolah tidak pandai baca Alqur’an, menipisnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama, mudah terjerumus melakukan maksiat, rentan terlibat perilaku menyimpang, memiliki jiwa labil, tidak adanya pegangan iman dan sebagainya.
Padahal, kondisi zaman yang penuh dengan godaan berbagai maksiat dan terjerumus berbuat dosa, pendalaman nilai-nilai agama makin sangat penting. Sehingga memiliki kemampuan untuk membentengi dirinya dari berbagai godaan dunia yang menjerumuskan ke lembah nista.
Dari pengamatan sehari-hari, perilaku anak-anak remaja makin jauh dari nilai-nilai agama yang sarat dengan akhlak terpuji dan bermoral. Makin sering terdengar pelajar terlibat tawuran, melawan guru dan orangtua, terlibat narkoba, melakukan seks pra-nikah, terlibat judi, minuman keras dan sebagainya.
Inilah kenyataan yang memprihatinkan. Kita ingin anak-anak memiliki pemahaman agama yang baik, sementara minat untuk mengarahkan ke lelmbaga pendidiikan agama sangat rendah.
Dengan adanya perubahan pemikiran bagi orang tua dan anak, kecenderungan melanjutkan pendidikan ke madrasah (sekolah agama) tentu sesuatu yang menggembirakan.
Kesadaran orang tua untuk membekali pendidikan dan pengajaran agama Islam kepada generasi mendatang terus meningkat. Mudah-mudahan anak-anak yang melanjutkan pendidikan di madrasah, lembaga pendidikan agama, menjadi pemimpin masa depan bangsa dan negara. Semoga. (armaidi tanjung, wartawan utama, tinggal di Padang Pariaman).
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih