Oleh : Maharani, Mahasiswa Aktif Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
INDONESIA merupakan negara yang kaya akan kebudayaan.Koentjaraningrat (2009: 146) menjelaskan bahwa kata “kebudayaan” Berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti ‘akal’.
Berdasarkan hal tersebut kebudayaan Dapat diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata Majemuk budi-daya yang berarti “daya dan budi”, dengan demikian Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, karsa dari daya dan budi tersebut.
Salah satu unsur kebudayaan yaitu Bahasa. Terdapat banyak ragam Bahasa daerah di Indonesia, salah satunya bahasa Jawa. Di dalam Kesusastraan bahasa Jawa terdapat kesusastraan yang berbentuk puisi, Yang disebut macapat.
Padmosoekatja (dalam Laginem, 1996: 1) mengatakan macapat Merupakan jenis puisi tradisional dalam kesastraan Jawa. Jenis puisi itu terikat oleh konvensi-konvensi yang telah mapan, berupa guru gatra, Guru wilangan, dan guru lagu.
Macapat adalah salah satu jenis cipta sastra dalam karya budaya Jawa yang mempunyai perjalanan sejarah panjang, dan mempunyai Kedudukan sendiri dalam kerangka itu. Fungsinya yang nyata sebagai Sarana penyampai pesan dan wahana pembawa amanat dalam berbagai Macam ragam gubahan (Darusuprapta, 1989 : 15).
Salah satu hasil cipta Sastra yang berbentuk macapat yaitu Babad Pakepung. Babad Pakepung merupakan salah satu jenis sastra sejarah. Babad Dalam KBBI memiliki kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang berisi peristiwa sejarah; cerita sejarah.
Poerbatjaraka (1952: 194) menyebutkan bahwa Kitab Babad Pakepung ini terbentuk pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono IV. Kitab Babad Pakepung ini kabarnya karangan Yasadipura II.
Adapun Gaya lagu ikatannya hidup juga, indah serta jelas. Arti daripada kalimat-Kalimatnya dalam, singkat tiada memannjang-manjang dengan dibubuhi angka tahun deskripsi naskah pakepung dibungkus didalam kotak bewarna abu2, sampulnya dibuat dari kertas tebal yang berlapis kertas warna coklat dan dijilid di media penulisan terbuat dari kertas HVS ditulis dengan tinta warna hitam. Bagian tepi kanan dan kiri masing-masing halaman diberi garis tipis dengan menggunakan pensil.
Total halaman naskah 272 halaman sedangkan halaman isi yaitu 267 halaman. Jumlah baris teks yaitu 18 baris/halaman, ukuran naskah 205cm×32cm dengan tebal 1.5.ukuran teks dalam naskah yaitu 145 cm×25×5 cm naskah ini ditulis dengan aksara jawa dan bahasa jawa.
Terdapat penomoran halaman dibagian tengah dan menggunakan angka jawa tidak terdapat Babad Pakepoeng Turunan kagungan-Dalĕm Sĕrat Babad Pakĕpung, ing Surakarta 1815Sĕrat Babat Pakĕpung: anyariyosakĕn nalika Ingkang Sinuhun Kangjĕng Susuhunan Pakubuwana Kaping (...) Surakarta, kaliru pĕnggalih badhe Purun dhatĕng Walandi, sa[..]akalipun Bahpandur Saleh, tiyang bangsa Sasayid.
Lajĕng botĕn sagĕd kalampahan jalaran sangking Kyai Ngabehi (Ya)sadipura gandheng rĕmbak kalihan kumpĕni. Misaturun yasa Pang(...) pura nama Ronggawarsita taksih sami dipun cĕlak akar(...)n Dhatĕng Walandi dumugi sapariki. Awit kathah lalabuhanipun.
Iluminasi maupun ilustrasi dalam naskah ini. Secara keseluruhan keadaan naskah masih baik. Kertas sangat tipis dan rawan sekali sobek seluruh bagian kertas sudah berwarna coklat.
Getas akibat keasaman serta terdapat lubang-lubanh kecil akibat serangga di beberapa halaman. Teks masih jelas terbaca terdapat 2 lembar kertas yang terlepas dari kurang ny yaitu pada halaman 8-11.
Tidak ada halaman yang beberapa halaman ad yang terbalik saat proses penjildian. Pertanggung jawaban alih aksara babad pakepung menggunakan edisi standar, yakni tanda berikut sistem penulisan aksara jawa disesuaikan ke dalam sistem penulisan aksara jawa disesuaikan ke dalam sistem penulisan yang berlaku dalam aksara Latin.
Edisi yang distandarkan ini dipilih dengan tujuan memudahkan pembacaan dan pemahaman oleh kalangan luas. Alih aksara babad pakepung akan mentransformasi aksara dan ejaan bahasa jawa yang disempurnakan ( edisi revisi) dan kamus bau sastra jawa.
Perbedaan tanda dan sistem ejaan. Ketidak konsistenan sistem ejaan. Ketidak konsistenan ejaan memerlukan catatan-catatan sebagai pertanggung jawaban alih aksara pada alih aksara terdapat tanda-tanda gatra atau larik ditandai dengan garis miring(/) akhir Gatra atau larik ditandai dengan dua garis miring(//) , nomor halaman naskah digunakan angka arab yang diletakkan di antara kurang siku buka dan tutup contoh.
(1) Huruf kapital digunakan untuk nama orang, tempat, gelar, dsb. Tanda (...) sebagai tanda bahwa kata-kata pada teks hilang atau tidak terbaca karena kertas berlubang atau tinta terhapus imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan bentuk dasarnya.
Naskah ini terdiri dari 14 pupuh. Ringkasan cerita Babad Pakepung Di dalam Katalogus Koleksi Naskah Kitab Babad Museum Pusat yaitu Mengisahkan tentang Pemerintahan pada masa Ingkang Sinuhun Pakubuwana IV.
Suatu cobaan menimpa Ingkang Sinuhun PakubuwanaIV, ketika Ingkang Sinuhun berpandangan keliru akan tunduk kepada Kumpeni. Akal budi para abdi tidak dapat terlaksana karena Kyai Yasadipura dengan Kumpeni.
Tersebutlah Ingkang Sinuhun Senapati Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panatagama Pakubuwana IV memerintah di Surakarta. Pada Suatu ketika dihadap oleh abdi bernama Panengah, Wiradigda, Bahman, Nur Saleh (bangsa Sayid).
Ingkang Sinuhun selalu memikirkan apa yang Dinasehatkan oleh para abdi tersebut. Kisah diakhiri dengan perundingan antara Raden Ngabehi Yasadipura dan Kumpeni.
Daerah Pacitan dan Yogyakarta diserahkan Kepada Kumpeni. Kemudian Raden Ngabehi Yasadipura diutus menghadap uwaknya Pangeran Mangkudiningrat. (***/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih