Penulis : Wahyu Saptio Afrima
Foto ilustrasi by. google image |
TAREKAT Syattariyah merupakan salah satu tarekat sufi tertua dan berpengaruh dalam tradisi Islam. Didirikan oleh Syekh Abdullah Syattar pada abad ke-15 di Persia (Iran), tarekat ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Salah satu ajaran inti dalam Tarekat Syattariyah adalah praktik dzikir, atau mengingat Allah SWT secara terus-menerus.
Dalam Tarekat Syattariyah, dzikir dipandang sebagai jalan utama untuk mencapai kesadaran Ilahi (ma’rifatullah) dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dzikir tidak hanya sekedar mengucapkan kalimat-kalimat pujian dan ingatan kepada Allah, tetapi juga merupakan sebuah proses penyucian diri (tazkiyatun nafs) yang mendalam.
Tarekat Syattariyah memiliki bentuk dzikir utama yang dikenal dengan “Dzikir Syattar”. Dzikir ini terdiri dari beberapa tahapan.
Tahap pertama adalah dzikir ismu dzat yaitu mengingat nama Allah SWT, yaitu “Allah” atau “Hu” yang merupakan perwujudan dari sifat Dzat (Esensi) Ilahi. Dzikir ini dilakukan dengan mengucapkan nama “Allah” atau “Hu” secara berulang-ulang, baik dengan suara atau dalam hati.
Makna Ismu Dzat berarti "Nama Dzat" atau "Nama Zat" Allah SWT. Ini mengacu pada nama Allah yang paling agung dan mencakup seluruh sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dzikir Ismu Dzat dilakukan dengan mengucapkan kalimat "Allah, Allah, Allah" secara berulang-ulang, baik dengan suara keras maupun dalam hati.
Kadang juga dibarengi dengan mengatur nafas dan gerak tertentu. Tujuan utama Dzikir Ismu Dzat adalah untuk mencapai fana' (lenyap) dari diri sendiri dan baqa' (kekal) bersama Allah SWT.
Ini merupakan puncak pengalaman spiritual dalam tasawuf. Ketika melakukan dzikir Ismu Dzat, seorang sufi harus benar-benar berkonsentrasi dan menghayati makna dzikir tersebut dengan sepenuh hati.
Ini dilakukan untuk mencapai kehadiran hati (hudhur al-qalb) kepada Allah SWT.
Bagi tarekat Syattariyah, dzikir Ismu Dzat merupakan latihan rohani yang penting untuk membersihkan hati dan mempersiapkan diri menuju makrifat (pengenalan mendalam) kepada Allah SWT.
Dzikir Ismu Dzat biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang mursyid (guru spiritual) yang telah mendapat ijazah dari guru sebelumnya dalam silsilah tarekat Syattariyah.
Dalam tradisi tarekat Syattariyah, dzikir Ismu Dzat diyakini sebagai jalan untuk mencapai penyatuan dengan Allah SWT melalui pengalaman spiritual yang mendalam dan penghayatan terhadap keagungan nama-Nya.
Tahap kedua adalah Dzikir Ismu Sifat merupakan mengingat sifat-sifat Allah SWT, seperti “al-Hayy” (Yang Maha Hidup), “al-Qayyum” (Yang Maha Berdiri Sendiri), “al-Quddus” (Yang Maha Suci), dan sebagainya.
Dzikir ini dilakukan dengan mengucapkan sifat-sifat tersebut secara berulang-ulang.
Makna Ismu Sifat Ismu Sifat berarti "Nama- Nama Sifat" Allah SWT. Ini mengacu pada 99 nama-nama indah Allah (Asmaul Husna) yang mencerminkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Cara Pelaksanaan Dzikir Ismu Sifat dilakukan dengan menyebut dan menghayati satu per satu nama-nama Allah (Asmaul Husna) beserta makna dan hakikat dari setiap nama tersebut.
Tujuan dzikir Ismu Sifat adalah untuk memahami, menghayati, dan meneladani sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT yang tercermin dalam Asmaul Husna. Ini dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadikan sifat-sifat-Nya sebagai pedoman dalam kehidupan.
Melalui dzikir Ismu Sifat ini, para pengikut tarekat Syattariyah berupaya untuk mengenal, memahami, dan menghayati sifat-sifat kesempurnaan Allah SWT, sehingga dapat menjadikan diri mereka sebagai cerminan dari sifat-sifat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Tahap ketiga adalah dzikir Ismu fi'il mengingat perbuatan-perbuatan Allah SWT, seperti “Khaliq” (Yang Maha Pencipta), “Raziq” (Yang Maha Pemberi Rezeki), “Hakim” (Yang Maha Bijaksana), dan lain sebagainya.
Dzikir ini dilakukan dengan mengucapkan nama-nama tersebut secara berulang-ulang.
Dalam Tarekat Syattariyah, praktik dzikir dilakukan dengan berbagai metode dan aturan tertentu yang diajarkan oleh guru spiritual (mursyid).
Beberapa metode yang dilakukan dalam Tarekat Syattariyah yang pertama adalah Dzikir Jahar (Dzikir Keras). Dzikir ini dilakukan dengan mengucapkan kalimat-kalimat dzikir secara keras dan jelas. Metode ini biasanya dilakukan dalam majelis atau majlis dzikir bersama.
Metode kedua adalah Dzikir Khafi (Dzikir Lirih). Dzikir ini dilakukan dengan mengucapkan kalimat-kalimat dzikir secara lirih atau tanpa suara, tetapi dengan gerakan bibir dan lidah.
Ketiga adalah Dzikir Qalbi (Dzikir Hati). Dzikir ini dilakukan dengan mengingat Allah SWT dalam hati, tanpa mengucapkan kalimat-kalimat dzikir secara verbal.
Dalam beberapa tarekat, termasuk Tarekat Syattariyah, praktik dzikir dilakukan dengan gerakan-gerakan tertentu, seperti menganggukkan kepala atau menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan secara teratur.
Dalam setiap gerakan nya dalam tarekat Syattariyah memiliki makna- makna tertentu yang dipahami oleh pengikut tarekat Syattariyah. Dalam tradisi tarekat Syattariyah, dzikir sering kali disertai dengan gerakan tubuh tertentu yang memiliki makna simbolik dan spiritual.
Gerakan tubuh dalam dzikir bertujuan untuk menghubungkan antara jiwa dan raga. Jiwa yang melakukan dzikir dipadukan dengan gerakan fisik tubuh agar seluruh eksistensi manusia terlibat dalam ibadah dan mengingat Allah SWT.
Gerakan-gerakan tertentu seperti menundukkan kepala, menengadahkan tangan, atau memutar badan dilakukan untuk membantu mengkonsentrasikan pikiran agar lebih fokus dalam berzikir dan mengingat Allah.
Setiap gerakan dalam dzikir memiliki makna simbolik yang merefleksikan makna dari dzikir itu sendiri. Misalnya, menundukkan kepala melambangkan kerendahan hati di hadapan Allah, atau memutar badan melambangkan perputaran alam semesta yang diciptakan Allah.
Gerakan tubuh dalam dzikir juga dimaksudkan untuk membangkitkan rasa dan pengalaman spiritual yang lebih mendalam. Gerakan-gerakan tersebut membantu membuka pintu hati dan jiwa agar lebih terhubung dengan Yang Maha Kuasa.
Gerakan-gerakan dalam dzikir merupakan tradisi yang diturunkan dari guru-guru spiritual tarekat Syattariyah.
Setiap gerakan memiliki makna dan tujuan khusus yang diajarkan secara turun-temurun dalam tarekat ini. Pelaksanaan dzikir dengan gerakan tubuh harus dilakukan di bawah bimbingan seorang mursyid (guru spiritual) yang memiliki otoritas dalam tarekat Syattariyah.
Mursyid akan membimbing dan menjelaskan makna setiap gerakan agar dzikir dapat dilakukan dengan benar dan bermakna.
Dengan demikian, gerakan tubuh dalam dzikir tarekat Syattariyah bukan hanya sekedar gerakan fisik biasa, tetapi memiliki makna spiritual yang mendalam dan bertujuan untuk membantu mencapai keadaan spiritual yang lebih tinggi dalam berzikir dan mengingat Allah SWT.
Praktik dzikir dalam Tarekat Syattariyah memiliki beberapa tujuan dan manfaat utama. Pertama sekali adalah untuk menyucikan diri. Dzikir dipandang sebagai sarana untuk menyucikan diri dari segala kotoran dan dosa, baik lahir maupun batin. Dengan mengingat Allah SWT secara terus-menerus, hati akan menjadi bersih dan jernih, sehingga dapat mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Tujuan utama dari praktik dzikir adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan merasakan kehadiran-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Dengan mengingat Allah SWT secara terus-menerus, seorang salik (pelaku dzikir) akan merasakan ketenangan dan kedamaian batin yang mendalam.
Melalui praktik dzikir yang konsisten dan berkelanjutan, seorang salik diharapkan dapat mencapai tingkat pengetahuan spiritual yang lebih tinggi, yang disebut dengan ilmu makrifat. Makrifat adalah pengetahuan tentang hakikat Allah SWT dan alam semesta yang diperoleh melalui pengalaman spiritual yang mendalam.
Dalam ajaran Tarekat Syattariyah, praktik dzikir yang konsisten dan dilandasi dengan keikhlasan akan membawa seorang salik menuju kebahagiaan abadi di akhirat. Dengan hati yang selalu ingat kepada Allah SWT, seorang salik akan senantiasa berada di jalan yang lurus dan mendapat ridha-Nya.
Dzikir dalam Tarekat Syattariyah merupakan jalan spiritual yang mengantarkan seorang salik menuju kesadaran Ilahi yang lebih tinggi. Dengan praktik dzikir yang konsisten, disertai dengan bimbingan seorang mursyid yang mumpuni, seorang murid tarekat diharapkan dapat mencapai tingkat spiritualitas yang lebih mendalam dan merasakan kehadiran Allah SWT dalam setiap aspek kehidupannnya.
Penulis : Wahyu Saptio Afrima, Mahasiswa Prodi Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Duta Budaya Kabupaten Padang Pariaman tahun 2021.
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih