Oleh : DIANA, Mahasiswa Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
MINANGKABAU berasal dari kata Minang yang artinya menang dan kabau yang artinya kerbau, dimana nama ini diambil dari bangganya atas kemenangan pacu kerbau dengan orang luar.
Orang awam juga akrab menyebutnya dengan orang Padang karena merujuk pada nama ibukota Sumatra Barat. Minangkabau juga identik dengan adat budaya dan kaya akan seni, tradisi, hingga masakannya yang tidak miskin bumbu (rendang,nasi padang,dan lain-lain).
Di Minangkabau terdapat tradisi marantau. Merantau adalah perginya atau perpindahan seseorang untuk meninggalkan tempat dimana ia berasal atau dilahirkan dan ia tumbuh besar menuju suatu wilayah lain, guna menjalani kehidupan baru maupun untuk sekedar mencari pengalaman hidup atau pekerjaan.
Dalam manuruik papatah Minangkabau belajar tentang perantauan yang dimana belajar tentang filosofi adat orang Minangkabau yang sering di lakukan masyarakat setempat terutama buat masyarakat yang anak nya dalam perantauan, perantauan anak-anak Minang bermula sudah sejak lama.
Di dalam masyarakat setempat banyak anak muda sekarang pergi merantau di karena kan tidak ada kerjaan di kampung halamannya maupun pergi merantau untuk mancari pengalaman ataupun menjadi tulang punggung untuk keluarga nya bagi anak yang keluarganya serba kekurangan.
Terutama bagi anak laki-laki wajib pergi merantau yang dimana dalam pepatah Minang mengatakan : “Karatau madang di hulu, babuah babungo balun, ka rantau bujang dahulu di rumah paguno balun”.
Pepatah itu mengatakan laki-laki pergi merantau karena agar saat di kampung menjadi anak yang berguna, karena orang kampung banyak mengatakan "Bakasiak Mato mancaliak" yang artinya sudah bosan melihat anak zaman sekarang yang tidak kerja yang padahal sudah sepatutnya kerja karena anak laki-laki tidak menerima harta warisan dari pusaka, maka dari itu agar tidak "angek talinggo" (panas telingga) disuruhlah dengan orang tua mereka masing-masing untuk merantau.
Di zaman modern sekarang di dalam perantauan bukan hanya cuman anak bujang laki-lakinya, tetapi melainkan anak perempuan juga ada yang pergi merantau walaupun perempuan yang pada akhirnya diberi warisan sama keluarganya.
Karena beda dengan anak laki-laki karena sejarah dizaman kuno dulu anak lelaki itu bisa mencari nafkah sendiri dan perempuan dulu hanya bertugas memasak dan jaga anak nya.
Perantauan anak laki-laki antara anak perempuan sekarang udah hampir sama ataupun sudah sama, karena anak perempuan memiliki kedudukan istimewa dibandingkan laki-laki maka dari itu perempuan sekarang tidak mau kalah dengan laki-laki walaupun tenaganya tidak sebanding dengan laki-laki.
Anak perempuan pergi merantau karna dia mau mencari pengalaman dan ingin merasakan hasil kerjanya sendiri tanpa warisan Bako nya,dan anak perempuan itu pun berfikir warisan itu pun blum tentu bisa menghidupkan nya sampai kelak dia dipanggil yang maha kuasa.
Merantaunya anak perempuan di karenakan juga agar tidak duduk-duduk saja di rumah, agar tidak banyak cemoohan masyarakat setempat.
Kalau sudah jadi perbincangan masyarakat setempat orang tua dari anak perempuan nya itu pasti sudah mencarikan jodoh buat anak nya itu.
Maka dari itu bagi anak perempuan yang tidak ingin terburu-buru di beri dua pilihan merantau atau nikah, maka dari itulah banyak anak perempuan sekarang lebih milih untuk merantau.
Dimana pepatah mengatakan:
"Baa hiduik di Rantau mancari pungguang ndk basawok, mancari Kapalo ndk batutuik"
Yang artinya anak muda sekarang mengubah nasib yang mudahan saat di perantauan dapat yang dicari yang tidak dapat di carinya saat dikampung.
Dalam perantauan agar kita bisa lebih cepat beradaptasi dalam lingkungan baru/ perantauan, maka anak perantau mestinya mereka sopan santun yang di mana dalam pepatah adat Minangkabau mengatakan "Mandi ambiak bauah, Mangicek ambiak bawah" yang artinya dahulu kan orang yang datang di banding kita yang telat,agar orang setempat tidak marah.
Merantaunya anak muda sekarang harus tahu kato nan Ampel yaitu :
Kato mandaki
Kato mandaki adalah penggunaan tutur kata yang penuh dengan etika kesopanan, serta menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua.
Kato mandata
kato mandata merupakan bahasa sehari-hari yang bisa ditemui ketika kita sedang berkumpul bersama teman-teman lainnya. Penerapan kato mandata ketika bertutur kata biasanya memunculkan komunikasi yang penuh rasa persahabatan, saling mendukung, kegembiraan, dan fleksibel tergantung situasi antar sesama.
Penggunaan kato mandata ini diharapkan bisa semakin merekatkan hubungan antara seseorang dengan teman-teman terdekatnya, tanpa perlu melukai perasaan satu sama lain.
Kato manurun
Kato manurun (kata menurun) merupakan kebalikan dari penerapan kato mandaki. Cara bertutur kata yang satu ini biasanya digunakan ketika berbicara kepada orang yang lebih muda, seperti orang tua ke anak, guru ke murid, atau kakak kepada adiknya.
Kato manurun biasanya diterapkan dengan menggunakan tutur kata yang penuh kelembutan dan kasih sayang, agar lawan bicara yang lebih muda bisa nyaman ketika berkomunikasi dengan kita.
Kato malereng
Kato malereang adalah cara berkomunikasi khusus yang digunakan seseorang ketika berbicara kepada sosok yang cukup dihormati, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan sejenisnya.
Selain itu, kato malereang biasanya juga digunakan ketika berbicara kepada keluarga yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung, seperti sumando, minantu, dan ipar.
Agar tidak salah dalam berbicara dalam menghadapi lingkungan baru dalam perantauan yaitu: kato mandaki, kato manurun, kato mandata, dan kato malereng, terutama dalam bicara pada siapa saja dalam pepatah urang tuo dahulu "Manganggo dulu sabalun mangicek"yang artinya kita berfikir dulu sebelum apa yang akan kita bicarakan, jangan sampai ada "aggih Jo gadendiang urang".
Merantau bukan lah hal yang mudah, merantau di perantauan orang lain tentu kita harus tau adat dan tata adat di perantauan juga agar anak perantau lebih mudah bergaul dengan masyarakat sekitar di perantauan.
Marantau juga berpengaruh pada sistem matrilineal dalam minangkabau. Karena keberadaan sistem matrilineal dalam hal harta pusaka berupa ladang dimana disaat perempuan Minangkabau memilih merantau.
Perempuan Minangkabau tidak lagi bisa mengelola ladang yang ada dikarenakan pada kebudayaan sistem matrilineal di Minangkabau segala harta pusaka yang ada dikelola, dijaga oleh anak-anak perempuan.
Merantau nya anak minang di kalangan sekarang banyak orang kampung mengatakan hidup di perantauan itu senang, bahagia, jaya. Belum tentu,karna tidak semua nya itu benar karna sebagian anak rantau ada yang merasakan senang hidup dan ada yang merasakan susah nya hidup di rantau
Anak rantau yang senang di rantau itu anak yang orang tua mya sudah lama merantau dan ikut menyuli orang tua nya. Sedangkan anak rantau yang orang tua nya di ranah minang ataupun di kampung halaman mereka merasakan betapa pahit nya hidup di rantau karna saat lebaran jika ada rezki baru bisa pulang jika tidak terpaksa hidup di rantau lebaran tanpa bersama keluarga.
Kadang mereka merasakan batin tertekan dan ibo hati di saat orang tua minta uang di saat mereka tidak ada uang, tetapi mereka tidak menghiraukan itu mereka berusaha agar orang tua nya tidak memikirkan pahit nya anak mereka di rantau, maka dari itu anak rantau kadang meminjam uang kepada bos nya bagi anak yang bekerja dengan orang lain. (***/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih