Oleh : Fiqkih Aulia Rahman Agmy, Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Universitas Andalas.
SECARA UMUM tradisi adalah sebuah bentuk perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama dan cenderung terjadi secara tidak sadar.
Kebiasaan yang diulang-ulang ini dilakukan secara terus menerus karena dinilai bermanfaat bagi sekelompok masyarakat di Nagari tersebut, sehingga sekelompok masyarakat bisa melestarikannya.
Kata “Tradisi” diambil dari bahasa latin “Tradere” yang bermakna mentransmisikan dari satu tangan ke tangan lain untuk dilestarikan.
Tradisi secara umum dikenal sebagai suatu bentuk kebiasaan yang memiliki rangkaian peristiwa sejarah kuno.
Setiap tradisi dikembangkan untuk beberapa tujuan, seperti tujuan politis atau tujuan budaya dalam beberapa masa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan merupakan salah satu endapan dari hasil karya manusia.
Ia tidak hanya diartikan sebagai manifestasi dari perilaku terpuji manusia Ketika hidup di dunia seperti berpedoman pada agama, kesenian, filsafat, dan lain sebagainya, akan tetapi lebih diartikan sebagai manifestasi dari seluruh aspek kehidupan manusia, baik per-individu maupun kelompok.
Makna kebudayaan juga dapat mencakup upaya masyarakat untuk terus menerus secara dialektis menjawab setiap tantangan dan tuntutan zaman yang dihadapkan kepadanya dengan menciptakan berbagai prasarana dan sarana.
Di dalam pengalaman manusia, kebuayaan ini bersifat universal. Namun, pengenjawantahan kebudayaan mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya.
Kebudayaan sendiri merupakan produk dari kehidupan masyarakat, dimana produk tersebut telah menjadi tradisi dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari.
Lazimnya, adat atau tradisi yang telah mengakar itu dilakukan secara turun menurun oleh setiap masyarakat setempat.
Di Sumatera Barat sendiri banyak mempunyai tradisi-tradisi yang salah satunya di Nagari Sijunjuang yaitu, Bakaua Adat. Asal mula penamaan Nagari Sijunjung ini berawal dari kisah Syekh Abdul Muhsin adalah seorang ulama yang terkenal di Nagari Sijunjung.
Beliau dikenal dengan nama lengkap Syekh Muhammad Muchsin atau Syekh Supayang. Beliau ber makam di Supayang solok, sebelum ke sijunjung sesudah menuntut ilmu ke kuntu Darussalam kepada Syekh Burhanudin kuntu.
Kemudian sepulang beliau menuntut ilmu sepulang beliau menuntut ilmu beliau menemui sultan khalifahtullah di tugaskan untuk mengembangkan ajaran Islam di daerah Supayang, Solok, dan Sijunjuang, melalui ajaran tarekat Syattariyah.
Melewati daerah kawasan kubung tigo baleh hingga kawasan camen taruih sampai ke tiang panjang nan bairik, pada kawasan kerajaan jambu lipoh baliau mendapat tantangan terus beliau ke supayang lalu ke sijunjung menepat di gunung medan sesudah itu ke daerah taratak sungai kandi.
Setelah beliau mengunjungi 4 nagari tadi muncul lah keinginan beliau untuk mendirikan nagari Sijunjung didirikan pada awal abad ke 15.
Beliau malakukan sidang atau rapat di daerah tabek, telah sampai pada proses dan syarat mendirikan nagari telah cukup tinggal musyawarah memberi nama yang tepat untuk nagari tersebut, sewaktu musyawarah berlangsung terjadi lah semacam musibah
Seorang perempuan yang tercebur ke dalam lumpur, silih berganti masyarakat setempat untuk manolong perempuan tersebut tidak kunjung terangkat, turun lah syekh abdul mushin ke tempat perempuan itu tercebur, kebetulan beliau mengacungkan tongkat nya lalu di anjuangkan ke atas sahingga perempuan itu berhasil di selamatkan dari lumpur tersebut.
Lalu melanjutkan musyawarah tadi, dan di sepakati memberi nama yang berkaitan melalui kejadian tadi yaitu "si puti junjuang". nagari sijunjuang asal katanya adalah "si puti junjuang".
Si puti artinya seorang perempuan bangsawan junjuang adalah yang di hormati, jadi arti kata si puti junjuang adalah bangsawan yang di hormati. Dari sanalah muncul istilah penyebutan nama nagari menjadi "Si Puti Junjuang" atau disingkat menjadi "Sijunjung".
Sijunjung-Matahari bersinar cerah, tetapi tidak terlalu panas siang itu. Ditambah angin sepoi-sepoi yang berhembus menambah sejuk suasana. Diiringi irama talempong, alat musik khas Minangkabau, Sumatera Barat.
Suasana itulah yang akan kalian temui jika berkesempatan mengikuti Upacara Adat "Bakaua" atau "Bakau" yang rutin diselenggarakan setiap tahun sebelum masa tanam padi tiba yakni pada bulan Mei-Juni, bertempat di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato, Perkampungan Adat Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.
Upacara Bakaua Adat merupakan upacara adat sebagai wujud syukur atas panen padi yang melipah dan pengharapan agar musim tanam padi selanjutnya mampu memberikan hasil yang semakin baik.
Perkampungan Adat Nagari Sijunjung telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Indonesia oleh Kemdikbud melalui Kepurusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 186/M/2017.
Upacara Adat Bakaua terdiri dari berbagai rangkaian acara yang panjang, dimulai dari pra-acara beberapa hari sebelum acara inti, dengan perayaan festival kuliner maupun perlombaan permaianan anak.
Sementara itu, pada malam harinya terdapat pentas seni tradisional dengan menampilkan seni Randai. Randai merupakan seni tradisional Minangkabau yang menggabungkan sejumlah kesenian seperti teater dan silek, yang pastinya randai adalah permainan anak nagari di Minangkabau.
Kemudian, dini hari sebelum ritual pagi dimulai, kerbau tersebut disembelih dan dijadikan persembahan oleh Pemimpin Nagari Niniak Mamak dan sejumlah tokoh adat lainnya. Penyembelihan kerbau ini disebut “Manbantai Kabau''.
Prosesi ini berlangsung sekitar pukul 2 atau 3 pagi dan diikuti oleh laki-laki. Pagi harinya, daging hasil pemotongan kerbau dibagikan kepada seluruh warga Nagari, kemudian dimasak dan dibawa ke upacara adat Bakaua.Sementara itu, prosesi "Malimau tungkek" digelar di rumah salah satu tetua adat, dimana tongkat dicelupkan ke dalam air dan disucikan oleh warga sekitar.
Pada siang harinya, para Bundo Kanduang yakni pemimpin perempuan disetiap keluarga (perempuan yang dituakan) akan memakai pakaian adat Bundo Kanduang dan mulai berkumpul di Tugu Bundo Kanduang Perkampungan Adat Nagari Sijunjung.
Mereka akan melakukan prosesi arak-arakan. Diatas kepala mereka menyunggi "dulang" tempat makan khas Minangkabau yang berisi sejumlah lauk termasuk rendang, gulai daging kerbau, dendeng, dan beraneka makanan lain.
Mereka berjajar rapih sepanjang jalan perkampungan adat itu, berjalan sejauh tak kurang dari 1 kilometer. Kemudian dilanjutkan dengan menceritakan sejarah dan legenda terkait dengan Upacara Adat Bakaua. Pada akhir acara kemudian dilanjutkan dengan prosesi makan bajamba.
Makan bajamba adalah tradisi makan adat dimana terdapat tatacara dan persyaratan khusus seperti harus dengan etika dan norma makan yang sesuai.
Menurut sastra lisan legenda upacara Bakaua Adat tersebut diwilayah Nagari Sijunjung terdapat beberapa musibah besar atau bala penyakit dan kemarau panjang yang terjadi selama 3 tahun berturut-turut. Masyarakat pun tidak bisa bertanam padi atau orang disini menyebut dengan
istilah "Angau". Setiap harinya terdapat 5 hingga 7 ekor ternak yang mati. Terdapat pula penyakit "Ngorok" atau "Ibeg”, setiap hari terdapat warga desa yang meninggal dunia, dan antar niniak mamak tidak memiliki kesepakatan atau perpecahan akibat perbedaan pendapat.
Menurut salah satu alim ulama yang hidup dizaman itu yang bernama Syekh Amiluddin mendapatkan mimpi didatangi oleh Syekh Abdul Muksim.
Dalam mimpinya itu, dia diberi pesan bahwa nagari akan terus dilanda musibah berkepanjangan jika tidak ada yang dilakukan. Maka Syekh Abdul Muksim menyarankan agar diadakan upacara sebagai wujud syukur kepada Allah SWT dengan menyembelih kerbau dan dijadikan sebagai nazar setiap tahun.
"Untuk itu, pada acara Mambantai Kabau, setiap sebelum kerbau disembelih pasti dilakukan nadzar bahwa penyembelihan kerbau akan dilakukan sebagai wujud rasya syukur panen bisa memiliki hasil yang melimpah. Oleh karena itu setiap tahun niniak mamak melaksakan Upacara Bakaua Adat ini”. (**/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih